Tokoh
Politik Islam Kontemporer “Taqiyuddin al-Nabhani dan Sayyid Qutb”
Taqiyuddin
al-Nabhani
Bernama
lengkap Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf
al-Nabhani, keturunan kabilah bani Nabhan dari Arab pedalaman Palestina.
Mendiami kampung Ijzin, masuk wilayah Haifa, Palestina Utama.[1]
Taqiyuddin dilahirkan
Menurut Taqiyyudin al-Nabhani, khalifah adalah orang
yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan
hokum-hukum Syariah. Khalifah diangkat oleh kaum Muslimin. Orang yang memegang
urusan kaum Muslim tidak menjadi seorang khalifah kecuali jika dibaiat oelh Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi yang ada di
tengah-tengah umat dengan baiat in’iqad yang sesuai dengan syariat.[2]
Gelar yang digunakan untuk menyebut kepala pemerintahan Islam adalah gelar Khalifah, atau Imam, atau Amir al-Mu’min.[3]
Taqiyuddin
al-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1908. Beliau mendapatkan
didikan ilmu dan agama di rumah ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fiddin. Ayahnya seorang pengajar
ilmu-ilmu syariat di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu Taqiyuddin
al-Nabhani juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari
ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yususf al-Nabhani. Syaikh Yususf ini
adalah seorang wadi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama
terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.[4]
Taqiyuddin menjelalskan syarat-syarat khalaifah,
antara lain[5]:
1.
Khalifah harus seorang Muslim (QS An-Nisa: 141);
2.
Khalifah harus seorang laki-laki;
3.
Khalifah harus baligh;
4.
Khalifah harus orang yang berakal;
5.
Khalifah harus seorang yang adil;
6.
Khalifah harus orang yang merdeka;
7.
Khalifah harus orang yang mampu;
Metode pengangkatan khalifah menurut Taqiyuddin,
adalah melalui baiat. Menurut Taqiyuddin, baiat adalah metode pengangkatan
khalifah yang sesuai dengan Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ sahabat.[6]
Beliau juga menjelaskan tentang prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan
khalifah. Sesungguhnya, prosedur praktis yang bias menyempurnakan pengangkatan
khalifah sebelum dibaiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Prosedur
ini sepereti yang pernah terjadi secara langsung pada Khulafaur Rasyidin yang
dating pasca wafatnya Rasulullah SAW. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali ra. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tatacara itu. Padahal
tatacara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan
dengan syariat.[7]
Sayyid
Qutb
Sayyid Qutb lahir pada tahun 1960
dan wadat pada tahun 1966. Beliau adalah lulusan Dar al-Ulum, Kairo, dan
memulai kariernya sebagai guru sekolah, sama seperti Hasan al-Banna. Kemudian,
Sayyid Qutb diangkat menjadi penelik pada Kementerian Pendidikan. Pada tahun
1948, beliau menulis buku dengan judul Al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam
(Keadilan Sosial dalam Islam).[8] Setelah
itu, beliau tinggal selama dua tahun di Amerika Serikat untuk mempelajari
sistem dan organisasi pendidikan. Sepulang dari Amerika, beliau masuk menjadi
anggota Al-Ikhwan al-Muslimmin, dan menjadi teoritkus utama dari organisasi
itu. Sayyid Quthb rupanya merupakan salah seorang penulis yang produktif.
Beliau menulis tidak kurang dari dua puluh empat buku dan banyak artikel,
khususnya mengenai agama dan pendidikan. Awalnya, sebagai cendekiawan Mesir
yang pada umumnya, beliau tertarik dengan kemajuan dan peradaban Barat,
kemudian beliau menjadi anti Barat terutama setelah melihat keterlibatan
negeara-negara Barat dalam dalam pendirian negara Israel di atas bumi
Palestina.[9] Kunjungannya
ke Amerika, membuka matanya tentang kebobroan moral dalam peradaban Barat dan
kuatnya semangat anti Arab di negara tersebut. Ketika pemerintah Mesir
mengambil tindakan terhadap al-Ikhwan al-Muslimin pada tagun 1954, Sayyid Quthb
dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Berka campur tangan Presiden Abd
al-Salam Arif dari Irak, beliau dibebaskan pada tahun 1964, tetapi beberapa tahun
kemudian ditangap kembali dan dihukum mati pada tahun 1966 bersama dua anggota
organisasi yang lain atas tuduhan melakukan makar terhadap pemerintahan Mesir.[10]
Tidk hanya mengkrtik pemerintahan
Mesir yang terkesan sekuler pada saat itu, namun Sayyid Quthb juga memberikan
solusi dengan menyodorkan Islam sebagai satu-satunya ideologi yang Sollih li
kulli zaman wal makan, karena menurutnya islam mempunyai jawaban untuk
segala permasalahan sosial dan politik. Selain itu, menurutnya Islam memiliki
konsep untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.[11]
Terdapat banyak kemiripan atau
persamaan pandangan serta paham keagamaan politik antara Rasyid Ridha, Hasan
al-Banna, Sayyid Quthb pada khususny, dan al-Ikhwan al-Muslimin pada umumnya. Diantaranya
yang paling sentral dan paling mendasar ialah :
“Islam
adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja
tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara
mengatur segala aspek kehidupan, termsuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial;
oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus
kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab
sucinya, Al-Qur’an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam
generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan pola atau sistem politik,
ekonomi dan sosial Barat.”[12]
Dalam
pandangan Sayyid Quthb, Islam adalah way of life yang komprehensif.
Islam adalah ruh kehidupan yang mengatr sekaligus memberikan solusi atas
permaslaahan sosial kemasyarakatan. Al-Qur’an, dalam tatanan umat Islam
dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupu mengatur pola
hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai perinsip utama dalam agama Islam
sehingga Al-Quran dapat mengatasi permasalahan yang ada. berdasarkan asumsi
tersebut, Sayyid Quthb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat menjawab pertanyaan tentang beberapa
permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan
kembali kepada Allah SWT dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkanNya
dalam Al-Qur’anj ika manusia menginginkan sebiah kebahagiaan, kesejahteraan,
keharmonisan, dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini. karena menurut
beliau penggunaan akal adalah tolok ukur satu-satunya dalam memahami nash-nash
Al-Qr’an tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan, dan hal-hal
gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan
Tuhan, Allah yang Maha Mutlak lagi Tidak Terbatas.[13]
Dalam
bukunya Mu’allim fi Al-thariq, beliau menjelaskan tujuan politik yaitu
menciptakan keselarasan antara hukum Tuhan dan hukum alam dan menyingkirkan
segala pertikaian, karena Islam menginginkan kepemimpinan yang lurus, kebaikan
dan kesejahteraan ummat.[14]
Sedangkan visi politik dalam pandangan Sayyid Quthb adalah[15]
:
a.
Politik tiada lain adalah menciptakan keserasian Illahiah
dan dunia, dan
b.
Berpolitik berarti menngkap secara intuituf pengetahuan
tentang kebenaran mutlak.
Dalam buku Al-Adalah
al-Ijtima’iyah fi al-Islam, Sayyid Quthb mengemukakan tiga pokok pikiran
seperti[16]:
1. Pemerintahan
supra nasional
Menurut
Sayyid Quthb, pemerintahan Islam itu supra nasional, maskipun beliau menolah
istilah imperium. Wilayah negara meliputi seluruh dunia Islam dengan
sentralisasi kekuasaan pada pemerintahan pusat, yang dikelola atas prinsip
persamaan penuh antara semua umat Islam yang terdapat di seluruh penjuru dunia
Islam, tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan, bahkan dalam banyak hal tidak
pula mengenal fanatisme keagamaan.[17]
Wilayah-wilayah di luar pusat pemerintahan tidak diperlakukan sebagai daerah
jajahan dan tidak pula dieksploitasi untuk kepentingan raja. Setiap wilayah
merupakan bagian dari keseluruhan dunia Islam dan semua warga memiliki hak yang
sama dengan warga yang berada di pusat pemerintahan. Bila sementara wilayah ada
yang diperintah oleh seorang gubernur atau wali yang diangkat oleh pemerintah
pusat, maka seorang gubernur hanyalah seorang Muslim yang dianggap layak untuk
menduduki jabatan tersebut, dan bukan sebagai penjajah. Pendapatan daerah,
digunakan untuk kepentingan daerah sendiri dan barulah jika ada kelebihan atau
sisa, maka akan disetorkan ke Bat al-Mal atau peebendaharaan pemerintah
pusat sebagai milik bersama kaum Muslimin, yang akan dimanfaatkan bagi kepentingan
pemerintah pusat, sekalipun jarak antara daerah yang bersangkutan dan pusat
pemerintahan itu sangat jauh seperti yang biasa terjadi dalam suatu imperium.[18]
Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb pmerintahan Islam bercorak manusiawi,
terutama dengan konsepsinya yang kuat tentang kesatuan manusia serta tujuannya
yang menghendaki agar seluruh umat manusia terhimpun di bawah bendera
persaudaraan atau persamaan.[19]
2. Persamaan
Hak Antara Para Pemeluk Berbagai Agama
Negara
Islam menjamin bahwa orang-orang dzummi dan kaum Musyrikin memiliki hak
yang sama terkait perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Hal ini terjadi karena
pemerintahan Islam betul-betul menegakkan asas kemanusiaan tanpa membedakan
pemeluk afama yang satu dengan pemeluk agama yang lain apabila sampai kepada
persolan kebutuhan manusia pada umumnya. Islam memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada pemeluk agama lain, dan memberikan jaminan persamaan yang mutlak dan
sempurna kepada masyarakat, dan bertujuan merealisasi kesatuan kemanusiaan
dalam bidang peribadaan dan sistem kemasyarakatan.[20]
3. Tiga
Asas Politik Pemerintah Islam
Menurut
Quthb, politik pemerintaan dalam Islam didasarkan atas tiga asas yatu keadilan
penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat. Pertama,
Keadilan rakyat. Seorang penguasa harus adil secara mutlak, keputusan dan
kebijaksanaannya tidak terpengaruh oleh perasaan senang atau benci, suka atau
tidak suka, hubungan kerabat, suku dan hubungan-hubungan khusus lainnya.[21] Kedua,
tentang Ketaatan rakyat. Menurut Sayyid Quthb dalam Munawir Sjadzali, keharusan
atau kewajiban taat kepada kekuasaan itu merupakan perpanjangan dari kewajiban
taat kepada Allah SWT dan RasulNya, sebab taat kepada pemegang kekuasaan itu
bukan karena jabatan mereka, tetapi karena mereka menegakkan syariat Allah SWT
dan RasulNya. Hal itu berarti bahwa apabila para pemegang kekuasaan menyimpang
dari garis-garis yang telah ditetapkan oleh syariat maka gugurlah kewajiban
taat kepada penguasa, dan segala perintahnya tidak wajib dilaksanakan.[22] Ketiga,
tentang musyawarah antara penguasa dan rakyat. Permusyawaratan merupakan
salah satu dari prinsip-prinsip pemerintahan Islam, sedangkan teknik
pelaksanaannya tidak secara khusus ditetapkan. Menurut Quthb, dalam Sjadzali bentuk
penyelenggaraan dan pelaksanaannya terserah kepada kepentingan dan kebutuhan.[23]
Daftar Rujukan
Al’ard, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi, Tafsir terjemah,
Ahmad Akram, (Jakarta; Raja Grafindo). 1994.
an-Nabhani, Taqiyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam, terj. Maghfur.
(Surabaya: Risalah Gusti). 2002.
Esposito
(ed), Dinamika kebangunan Islam,
Bakri Siregar (terj). (Jakarta; Jakarta Press). 1997.
Quthub,
Sayyid . Tafsir Juz ‘Amma. (Lebanon;
Dar al-Falah). 1967.
Rahnoma, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Ilyas
Hasan (terj), (Bandung; Mizan). 1995.
Samarah,
Ihsan. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani :
Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya. (Bogor: al-Azhar Press). 2003.
Sjadzali, Munawir. Islam dan
Tata Negara. (Jakarta: UI Press) .1993.
Tahrir, Hizbut. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, terj.
Yahya A, (Jakarta: HTI Press). 2006.
[1] Taqiyuddin
an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif Perspektif Islam, terj. Maghfur, (Surabaya: Risalah Gusti,
2002), h.359.
[2] Hizbut
Tahrir, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah,
terj. Yahya A, (Jakarta: HTI Press, 2006), h. 31-32
[3] Ibid., 32
[4]
Ihsan Samarah, Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani : Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor:
al-Azhar Press, 2003), 5-6
[5]
Hizbut Tahrir, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah,
h.35-40
[6] Ibid., 41
[7] Ibid.,h.
45
[8] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h.147
[9] Ibid., h.148
[10] Ibid., h.148
[11] Esposito (ed), Dinamika kebangunan Islam, Bakri
Siregar (terj), (Jakarta; Jakarta Press, 1997), hlm., 103.
[12] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.148
[14] Ali Rahnoma (ed), Para Perintis Zaman Baru
Islam, Ilyas Hasan (terj), (Bandung; Mizan, 1995), hlm., 167
[15] Ali Hasan Al’ard, Sejarah dan Metodologi,
Tafsir terjemah, Ahmad Akram, (Jakarta; Raja Grafindo, 1994), hlm., 41.
[16] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.149
[17] Ibid., h.149
[18] Ibid., h.149
[19] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.150
[20] Ibid., h.150
[21] Ibid., 150
[22] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.150
[23] Ibid., 151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar