Jumat, 24 November 2017

Tokoh Politik Islam Kontemporer “Taqiyuddin al-Nabhani dan Sayyid Qutb”



Tokoh Politik Islam Kontemporer “Taqiyuddin al-Nabhani dan Sayyid Qutb”

Taqiyuddin al-Nabhani
            Bernama lengkap Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani, keturunan kabilah bani Nabhan dari Arab pedalaman Palestina. Mendiami kampung Ijzin, masuk wilayah Haifa, Palestina Utama.[1] Taqiyuddin dilahirkan
Menurut Taqiyyudin al-Nabhani, khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hokum-hukum Syariah. Khalifah diangkat oleh kaum Muslimin. Orang yang memegang urusan kaum Muslim tidak menjadi seorang khalifah kecuali jika dibaiat oelh Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi yang ada di tengah-tengah umat dengan baiat in’iqad yang sesuai dengan syariat.[2] Gelar yang digunakan untuk menyebut kepala pemerintahan Islam adalah gelar Khalifah, atau Imam, atau Amir al-Mu’min.[3]
            Taqiyuddin al-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1908. Beliau mendapatkan didikan ilmu dan agama di rumah ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fiddin. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu Taqiyuddin al-Nabhani juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yususf al-Nabhani. Syaikh Yususf ini adalah seorang wadi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.[4]
Taqiyuddin menjelalskan syarat-syarat khalaifah, antara lain[5]:
1.      Khalifah harus seorang Muslim (QS An-Nisa: 141);
2.      Khalifah harus seorang laki-laki;
3.      Khalifah harus baligh;
4.      Khalifah harus orang yang berakal;
5.      Khalifah harus seorang yang adil;
6.      Khalifah harus orang yang merdeka;
7.      Khalifah harus orang yang mampu;
Metode pengangkatan khalifah menurut Taqiyuddin, adalah melalui baiat. Menurut Taqiyuddin, baiat adalah metode pengangkatan khalifah yang sesuai dengan Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ sahabat.[6] Beliau juga menjelaskan tentang prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan khalifah. Sesungguhnya, prosedur praktis yang bias menyempurnakan pengangkatan khalifah sebelum dibaiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sepereti yang pernah terjadi secara langsung pada Khulafaur Rasyidin yang dating pasca wafatnya Rasulullah SAW. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tatacara itu. Padahal tatacara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariat.[7]
Sayyid Qutb
            Sayyid Qutb lahir pada tahun 1960 dan wadat pada tahun 1966. Beliau adalah lulusan Dar al-Ulum, Kairo, dan memulai kariernya sebagai guru sekolah, sama seperti Hasan al-Banna. Kemudian, Sayyid Qutb diangkat menjadi penelik pada Kementerian Pendidikan. Pada tahun 1948, beliau menulis buku dengan judul Al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam).[8] Setelah itu, beliau tinggal selama dua tahun di Amerika Serikat untuk mempelajari sistem dan organisasi pendidikan. Sepulang dari Amerika, beliau masuk menjadi anggota Al-Ikhwan al-Muslimmin, dan menjadi teoritkus utama dari organisasi itu. Sayyid Quthb rupanya merupakan salah seorang penulis yang produktif. Beliau menulis tidak kurang dari dua puluh empat buku dan banyak artikel, khususnya mengenai agama dan pendidikan. Awalnya, sebagai cendekiawan Mesir yang pada umumnya, beliau tertarik dengan kemajuan dan peradaban Barat, kemudian beliau menjadi anti Barat terutama setelah melihat keterlibatan negeara-negara Barat dalam dalam pendirian negara Israel di atas bumi Palestina.[9] Kunjungannya ke Amerika, membuka matanya tentang kebobroan moral dalam peradaban Barat dan kuatnya semangat anti Arab di negara tersebut. Ketika pemerintah Mesir mengambil tindakan terhadap al-Ikhwan al-Muslimin pada tagun 1954, Sayyid Quthb dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Berka campur tangan Presiden Abd al-Salam Arif dari Irak, beliau dibebaskan pada tahun 1964, tetapi beberapa tahun kemudian ditangap kembali dan dihukum mati pada tahun 1966 bersama dua anggota organisasi yang lain atas tuduhan melakukan makar terhadap pemerintahan Mesir.[10]
            Tidk hanya mengkrtik pemerintahan Mesir yang terkesan sekuler pada saat itu, namun Sayyid Quthb juga memberikan solusi dengan menyodorkan Islam sebagai satu-satunya ideologi yang Sollih li kulli zaman wal makan, karena menurutnya islam mempunyai jawaban untuk segala permasalahan sosial dan politik. Selain itu, menurutnya Islam memiliki konsep untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.[11]
            Terdapat banyak kemiripan atau persamaan pandangan serta paham keagamaan politik antara Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb pada khususny, dan al-Ikhwan al-Muslimin pada umumnya. Diantaranya yang paling sentral dan paling mendasar ialah :
“Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termsuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, Al-Qur’an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.”[12]
Dalam pandangan Sayyid Quthb, Islam adalah way of life yang komprehensif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatr sekaligus memberikan solusi atas permaslaahan sosial kemasyarakatan. Al-Qur’an, dalam tatanan umat Islam dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupu mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai perinsip utama dalam agama Islam sehingga Al-Quran dapat mengatasi permasalahan yang ada. berdasarkan asumsi tersebut, Sayyid Quthb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat menjawab pertanyaan tentang beberapa permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah SWT dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkanNya dalam Al-Qur’anj ika manusia menginginkan sebiah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan, dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini. karena menurut beliau penggunaan akal adalah tolok ukur satu-satunya dalam memahami nash-nash Al-Qr’an tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan, dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan, Allah yang Maha Mutlak lagi Tidak Terbatas.[13]
Dalam bukunya Mu’allim fi Al-thariq, beliau menjelaskan tujuan politik yaitu menciptakan keselarasan antara hukum Tuhan dan hukum alam dan menyingkirkan segala pertikaian, karena Islam menginginkan kepemimpinan yang lurus, kebaikan dan kesejahteraan ummat.[14] Sedangkan visi politik dalam pandangan Sayyid Quthb adalah[15] :
a.       Politik tiada lain adalah menciptakan keserasian Illahiah dan dunia, dan
b.      Berpolitik berarti menngkap secara intuituf pengetahuan tentang kebenaran mutlak.
            Dalam buku Al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam, Sayyid Quthb mengemukakan tiga pokok pikiran seperti[16]:
1.      Pemerintahan supra nasional
Menurut Sayyid Quthb, pemerintahan Islam itu supra nasional, maskipun beliau menolah istilah imperium. Wilayah negara meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintahan pusat, yang dikelola atas prinsip persamaan penuh antara semua umat Islam yang terdapat di seluruh penjuru dunia Islam, tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan, bahkan dalam banyak hal tidak pula mengenal fanatisme keagamaan.[17] Wilayah-wilayah di luar pusat pemerintahan tidak diperlakukan sebagai daerah jajahan dan tidak pula dieksploitasi untuk kepentingan raja. Setiap wilayah merupakan bagian dari keseluruhan dunia Islam dan semua warga memiliki hak yang sama dengan warga yang berada di pusat pemerintahan. Bila sementara wilayah ada yang diperintah oleh seorang gubernur atau wali yang diangkat oleh pemerintah pusat, maka seorang gubernur hanyalah seorang Muslim yang dianggap layak untuk menduduki jabatan tersebut, dan bukan sebagai penjajah. Pendapatan daerah, digunakan untuk kepentingan daerah sendiri dan barulah jika ada kelebihan atau sisa, maka akan disetorkan ke Bat al-Mal atau peebendaharaan pemerintah pusat sebagai milik bersama kaum Muslimin, yang akan dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah pusat, sekalipun jarak antara daerah yang bersangkutan dan pusat pemerintahan itu sangat jauh seperti yang biasa terjadi dalam suatu imperium.[18] Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb pmerintahan Islam bercorak manusiawi, terutama dengan konsepsinya yang kuat tentang kesatuan manusia serta tujuannya yang menghendaki agar seluruh umat manusia terhimpun di bawah bendera persaudaraan atau persamaan.[19]
2.      Persamaan Hak Antara Para Pemeluk Berbagai Agama
Negara Islam menjamin bahwa orang-orang dzummi dan kaum Musyrikin memiliki hak yang sama terkait perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Hal ini terjadi karena pemerintahan Islam betul-betul menegakkan asas kemanusiaan tanpa membedakan pemeluk afama yang satu dengan pemeluk agama yang lain apabila sampai kepada persolan kebutuhan manusia pada umumnya. Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemeluk agama lain, dan memberikan jaminan persamaan yang mutlak dan sempurna kepada masyarakat, dan bertujuan merealisasi kesatuan kemanusiaan dalam bidang peribadaan dan sistem kemasyarakatan.[20]
3.      Tiga Asas Politik Pemerintah Islam
Menurut Quthb, politik pemerintaan dalam Islam didasarkan atas tiga asas yatu keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat. Pertama, Keadilan rakyat. Seorang penguasa harus adil secara mutlak, keputusan dan kebijaksanaannya tidak terpengaruh oleh perasaan senang atau benci, suka atau tidak suka, hubungan kerabat, suku dan hubungan-hubungan khusus lainnya.[21] Kedua, tentang Ketaatan rakyat. Menurut Sayyid Quthb dalam Munawir Sjadzali, keharusan atau kewajiban taat kepada kekuasaan itu merupakan perpanjangan dari kewajiban taat kepada Allah SWT dan RasulNya, sebab taat kepada pemegang kekuasaan itu bukan karena jabatan mereka, tetapi karena mereka menegakkan syariat Allah SWT dan RasulNya. Hal itu berarti bahwa apabila para pemegang kekuasaan menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan oleh syariat maka gugurlah kewajiban taat kepada penguasa, dan segala perintahnya tidak wajib dilaksanakan.[22] Ketiga, tentang musyawarah antara penguasa dan rakyat. Permusyawaratan merupakan salah satu dari prinsip-prinsip pemerintahan Islam, sedangkan teknik pelaksanaannya tidak secara khusus ditetapkan. Menurut Quthb, dalam Sjadzali bentuk penyelenggaraan dan pelaksanaannya terserah kepada kepentingan dan kebutuhan.[23]











Daftar Rujukan
Al’ard, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi, Tafsir terjemah, Ahmad Akram, (Jakarta; Raja Grafindo). 1994.

an-Nabhani, Taqiyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, terj. Maghfur.  (Surabaya: Risalah Gusti). 2002.

Esposito (ed), Dinamika kebangunan Islam, Bakri Siregar (terj). (Jakarta; Jakarta Press). 1997.

Quthub, Sayyid . Tafsir Juz ‘Amma. (Lebanon; Dar al-Falah). 1967.

Rahnoma, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Ilyas Hasan (terj), (Bandung; Mizan). 1995.

Samarah, Ihsan. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani : Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya. (Bogor: al-Azhar Press). 2003.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UI Press) .1993.

Tahrir, Hizbut. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, terj. Yahya A, (Jakarta: HTI Press). 2006.









[1] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, terj. Maghfur, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), h.359.
[2] Hizbut Tahrir, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, terj. Yahya A, (Jakarta: HTI Press, 2006), h. 31-32
[3] Ibid., 32
[4] Ihsan Samarah, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani : Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor: al-Azhar Press, 2003), 5-6
[5] Hizbut Tahrir, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, h.35-40              
[6] Ibid., 41
[7]  Ibid.,h. 45
[8] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h.147
[9] Ibid., h.148
[10] Ibid., h.148
[11] Esposito (ed), Dinamika kebangunan Islam, Bakri Siregar (terj), (Jakarta; Jakarta Press, 1997), hlm., 103.
[12] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.148
[13] Sayyid Quthub, Tafsir Juz ‘Amma, (Lebanon; Dar al-Falah, 1967), cet V, hlm., 255-256
[14] Ali Rahnoma (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Ilyas Hasan (terj), (Bandung; Mizan, 1995), hlm., 167
[15] Ali Hasan Al’ard, Sejarah dan Metodologi, Tafsir terjemah, Ahmad Akram, (Jakarta; Raja Grafindo, 1994), hlm., 41.
[16] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.149
[17] Ibid., h.149
[18] Ibid., h.149
[19] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.150
[20] Ibid., h.150
[21] Ibid., 150
[22] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.150
[23] Ibid., 151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar