Jumat, 24 November 2017

Pemikiran Politik HOS Tjokroaminoto dan Soekarno



Pemikiran Politik HOS Tjokroaminoto dan Soekarno
Ja’far Sidik (11140150000080)


A.    Pemikiran Politik Islam Tjokroaminoto
Di Surabaya ia mulai aktif berorganisasi dan menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo sebelum masuk Sarekat Islam (selanjutnya disebut SI) yang berada dibawah pimpinan H. Samanhoedi. Melalui H. Hasan Ali Surati, seorang saudagar kaya dari India yang menjadi ketua Perkumpulan Manikem, Tjokroaminoto diperkenalkan dengan empat pengurus SI yang sedang menjajaki pembukaan cabang disana. Sejak itulah Tjokroaminoto menunjukkan ketertarikannya dan resmi menjadi anggota SI untuk kemudian menjadi ketua cabang di Surabaya. Oleh Tjokroaminoto, SI menjadi organisasi pergerakan pertama yang mampu mengadakan mobilisasi massa dalam sebuah vergadering (rapat terbuka) yang diadakan pada 26 Januari 1913 di Surabaya. Rapat terbuka tersebut dihadiri 12 afdeling (cabang) dari 15 afdeling yang ada dan berhasil menyedot atensi massa sebanyak 80.000 orang. Namun, menurut Schippers 64.000 peserta rapat di Surabaya ini berasal dari Surakarta. Selanjutnya, pada kongres pertama yang diadakan di Surakarta pada 23 Maret 1913 yang diikuti oleh 48 afdeling Tjokroaminoto ditunjuk sebagai wakil ketua SI dan redaktur pelaksana Oetoesan Hindia.[1]
Pada Kongres Kedua SI yang diadakan di Yogyakarta, April 1914, merupakan momen yang sangat bersejarah bagi Tjokroaminoto, SI, dan bagi rakyat Indonesia saat itu dimana Tjokroaminoto menjadi pemimpin tertinggi SI menggantikan H. Samanhoedi. Kongres kedua tersebut dihadiri 147 delegasi yang mewakili 440.000 anggota. Pada pembukaan kongres tersebut permintaan Samanhoedi agar tidak ada perubahan kepengurusan ditolak oleh peserta kongres. Mereka menginginkan Samanhoedi untuk menyerahkan kepengurusan kepada generasi muda yang lebih pandai dan memiliki kapasitas. Untuk meredakan suasana dan memberikan apresiasi kepada Samanhoedi Hasan Djajadiningrat mengusulkan agar Samanhoedi ditetapkan sebagai Ketua Kehormatan CSI (Central Sarekat Islam), sebuah posisi tanpa kekuasaan.[2]
Tjokroaminoto yang telah mengonsolidasikan kekuatannya diangkat sebagai ketua. Di Jawa Tengah misalnya, Tjokroaminoto yang sebelumnya wakil ketua SI mulai menandingi Samanhoedi dan turun ke cabang-cabang. Sementara di Jawa Timur, SI jelas berada di bawah kendali Tjokroaminoto. Ia orang yang paling berpengaruh di Surabaya. Ia mengontrol Oetoesan Hindia dan menjadi ’rajanya’ vergadering. Pada Agustus Tjokroaminoto semakin kuat menancapkan pengaruhnya dengan mengalahkan Hasan Ali Soerati, orang yang mendirikan Setia Oesaha dan toko-tokonya, dan mengambil alih jabatan Soerati sebagai direktur Setia Oesaha. Untuk memperluas pengaruh SI di bawah kendalinya, ia mengumpulkan kawan-kawannya dan mendistribusikan jabatan pada mereka. Rumah Tjokroaminoto sendiri secara de facto menjadi kantor SI Surabaya dan kemudian menjadi kantornya CSI.[3]
Selain itu kepiawaian Tjokroaminoto sebagai negosiator ulung tidak perlu diragukan lagi. Melalui lobi-lobinya kepada pemerintah Belanda, SI berhasil memperoleh status hukum dan mengubah afdeling-afdeling menjadi SI lokal. Selain itu, SI juga berhasil mendapat ijin untuk membentuk kepengurusan pusat yang kemudian dinamai Central Sarekat Islam (CSI). Sampai Kongres kedua sudah 60 afdeling yang berhasil diubah menjadi SI lokal dan nantinya terus bertambah. Maka, amat wajar pengaruh Tjokroaminoto semakin besar dan banyak cabang-cabang yang meliriknya untuk menjadi suksesor Samanhoedi.[4]
Di tangan Tjokroaminoto-lah SI mengubah konsep pergerakannya dari pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan nasional yang berorientasi sosial politik dan kepemimpinannya beralih dari kelompok borjuis pribumi ke kaum intelektual yang terdidik secara Barat. Bersama Agus Salim dan Abdul Moeis, Tjokroaminoto saling bahu membahu membesarkan Sarekat Islam hingga menjadi organisasi pergerakan pertama yang ’benar-benar’ berskala nasional yang mampu menarik anggota sebanyak 2,5 juta orang. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang daerah ketiga tokoh tersebut yang berbeda-beda. Tjokroaminoto merupakan keturunan ningrat Jawa, sementara Agus Salim adalah keturunan santri bangsawan di Padang, dan Abdul Moeis juga berasal dari keturunan bangsawan di Padang namun dibesarkan di Palembang. Ketiganya menjadi ’Tiga Serangkai’ pejuang muslim yang amat disegani.[5]
Bersama Abdul Moeis, Tjokroaminoto duduk sebagai wakil dari Sarekat Islam di Volksraad atau ’Dewan Rakyat’. Volksraad sendiri dibentuk setelah adanya tuntutan dari SI untuk mengadakan sebuah parlemen. Namun lembaga ini hanyalah bagian dari akal-akalan pemerintah kolonial untuk sekadar formalitas dalam memenuhi program Politik Etis yang saat itu sedang digiatkan. Karena pada saat itu jumlah wakil rakyat pribumi lebih sedikit dari pihak penjajah dan bangsa Timur Asing yaitu hanya sebanyak 25 orang sementara wakil dari Belanda sebanyak 30 orang dan dari Timur Asing sebanyak 5 orang. Sehingga Tjokroaminoto dan Abdul Moeis pada waktu itu memposisikan diri mereka sebagai oposisi.
Sedangkan khusus Salim, dia-lah yang memberikan muatan lebih nilai-nilai Islam atau ideologisasi Islam pada SI. Islam-lah yang seharusnya menjadi nilai dan bukan konsep Ratu Adil seperti yang sempat disematkan kepada Tjokroaminoto yang menurutnya berbau animis, mistik dan tidak rasional.[6]
Pada awal kepemimpinannya di SI, Tjokroaminoto cenderung masih bersikap kooperatif dan lunak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dalam pidato-pidatonya pada Kongres Nasional Pertama SI, tanggal 17-24 Juni di Bandung. Dalam pidatonya mengenai Zelf Bestuur (pemerintahan sendiri) dan Dewan Rakyat tersebut Tjokroaminoto dianggap belumlah terlalu radikal. Ia masih merupakan ’satria di bawah perlindungan pemerintah’. Nadanya masih berbau seperti yang sering diucapkan kaum etisi. Di pikirannya, Tjokroaminoto belum melihat Zelf Bestuur seradikal kemerdekaan, melainkan kebebasan untuk memerintah dan mengurus negerinya sendiri seperti halnya pemerintahan serikat yang tetap bernaung kepada negeri induknya yaitu Belanda.[7]
Namun, pernyataannya tersebut juga merupakan sebuah taktik untuk mengamankan penilaian pemerintah pada SI, sambil memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa pribumi bisa memerintah dirinya sendiri. Apa yang dinyatakan Tjokroaminoto jelas sangat menggembirakan kaum liberal di Belanda. Di Hindia, politik asosiasi yang menyatukan negeri Belanda dan Hindia dalam satu ikatan yang lebih sederajat telah berkembang. Mungkin di antara perkumpulan- perkumpulan lain di Hindia, perkumpulan Theosofi-lah yang paling jauh Hal ini dapat dilihat dari kata-katanya ”..bersama-sama pemerintah dan menyokong pemerintah menuju arah yang betul. Tujuan kita adalah mempersatukan Hindia dengan Nederland, dan untuk menjadi rakyat ’Negara Hindia’ yang berpemerintahan sendiri.”
Sikap radikal Tjokroaminoto sendiri tumbuh seiring dengan semakin radikalnya kaum pergerakan pada saat itu. Ada dua hal yang memicu tumbuhnya keradikalan dalam diri Tjokroaminoto. Pertama, penangkapan terhadap dirinya dengan tuduhan keterlibatan dalam kasus SI Seksi B dan peristiwa Garut tahun 1919. SI Seksi B adalah unit dari Sarekat Islam yang bersifat revolusioner dengan orientasinya yang terlihat kejam yaitu membunuh semua orang Eropa dan Cina, dan dengan cara ini mengambil alih pemerintahan. Anggota-anggota dari SI Seksi B inilah yang diduga menimbulkan kerusuhan dalam peristiwa Garut. Tjokroaminoto dianggap telah memberikan persetujuan secara diam-diam terhadap organisasi tersebut namun tidak secara aktif mendorongnya.[8]
Walaupun sebenarnya ada indikasi bahwa kerusuhan tersebut merupakan rekayasa yang sebenarnya dibuat oleh residen, kontrolir, bupati, wedana, camat, serta polisi yang masih mempertahankan Tanam Paksa untuk Jawa Barat. Kerusuhan ini sendiri dipicu oleh perintah residen agar menembak Haji Hasan. Tjokroaminoto pun dipermalukan dengan penahanan selama sembilan bulan dan kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti-bukti yang kuat. Bahkan pers Belanda dan anggota Volkskraad yang radikal pun berpendapat bahwa Tjokroaminoto sama sekali tidak terlibat dalam gerakan SI Seksi B.[9]
Akibat dari penahanan ini Tjokroaminoto merasa tidak perlu untuk melanjutkan sikap politiknya yang kooperatifnya kepada pemerintah kolonial. Kedua, pasca dibebaskan pada bulan April, Tjokroaminoto mendapati SI sedang berada di ambang perpecahan. Hal ini tidak lain merupakan ekses dari adanya konflik dengan kubu komunis yang menyusup ke dalam SI hingga memunculkan dua faksi yaitu SI Putih yang diwakili oleh Salim dan SI Merah yang dipunggawai oleh Semaoen. Tjokroaminoto yang awalnya bersikap lebih toleran terhadap orang-orang komunis pada akhirnya memilih untuk bersikap lebih tegas dari sebelumnya. Sebagai pemimpin besar SI/PSII tak terasa Tjokroaminoto di tahun 1934 telah berusia 52 tahun. Pada saat itu beliau sudah mulai sakit-sakitan. Walaupun demikian Tjokroaminoto sampai saat-saat terakhir hidupnya masih terus berjuang bersama SI, dan di kongres XX di Banjarnegara yang diadakan 20-26 Mei 1934 ia masih turut hadir dan inilah kongres SI terakhir yang dihadirinya setelah berjuang  lebih dari 22 tahun lamanya di SI/PSII. Di kongres ini Tjokroaminoto memberikan wasiat tertulis ’Program Wasiat’ yang merupakan suatu rencana ’Pedoman Umat Islam’ dan disahkan oleh kongres. Sebelumnya oleh kongres XIX Batavia Maret 1933, ia diserahi tugas penting yang nampaknya hanya dipercayakan padanya untuk menyusun ’Reglement Umum Bagi Umat Islam’. Oleh Tjokroaminoto konsep ini diserahkan pada kaum PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia) pada tanggal 4 Februari 1934 dan disahkan oleh kongres Banjarnegara 1934. Kesehatan Tjokroaminoto sendiri sebenarnya telah menurun sejak kepulangannya dari Sulawesi akhir 1933, namun ia terus memaksakan diri untuk bekerja. Sesudah kongres Banjarnegara tersebut rekan-rekan separtainya terus menasehatinya agar beristirahat dan mengurangi aktivitasnya, namun tidak juga diindahkan oleh Tjokroaminoto. Tanggal 30 Agustus-2 September 1934 di Pare sewaktu berlangsung konferensi wilayah PSII Jawa Timur, ia terlihat pucat dan lemah. Tak lama kemudian anaknya, Anwar Tjokroaminoto yang selama ini tinggal di Jakarta mendapat kabar dari keluarga di Yogyakarta yang mengatakan kondisi Tjokroaminoto mulai melemah. Ia mulai tidak bisa berjalan dan badannya mengalami kelumpuhan sebelah sehingga praktis ia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Akhirnya pada hari Senin Kliwon, 10 Ramadhan 1353 H, atau tepatnya pada tanggal 17 Desember 1934 H.O.S Tjokroaminoto menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau dimakamkan di Kuntjen, Yogyakarta.[10]

B.  Pemikiran Politik Islam Soekarno
Dalam tulisannya Bung Karno mengatakan, ”Bukankah, sebagai yang  sudah  kita  terangkan,  Islam  yang  sejati  mewajibkan  pada  pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat dianatara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam.” Bung Karno menegaskan kembali, ”...dimana-mana orang Islam bertempat disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya.”[11]
Bung Karno mengatakan bahwa dalam Islam juga terkandung tabiat-tabiat yang sosialistis maka dari itu seyogyanyalah kaum Islam harusnya mampu bekerja sama dengan kelompok Marxis, meski sosialisme dalam Islam memiliki asas yang berbeda yaitu spiritualisme sedangkan sosialisme dalam Marxis berdasar pada asas perbendaan, atau materialisme. Bung Karno juga mengingatkan, ”Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang paham Marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah dari pada riba sepanjang paham Islam. Meerwaarde ialah teori: memakan pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh  yang  bekerja mengeluarkan untung  tersebut ...  Untuk  Islamis sejati  tak layaklah jika  memusuhi paham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde tersebut, sebab Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu, bahwa Islam yang sejati  melarang  keras  akan  perbuatan  memakan  riba  ...  bahwa  riba  ini  pada hakikatnya tiada lain daripada meerwaarde-nya paham Marxisme itu.”[12]
“tidak ada agama yang lebih rasional dan simplicity daripada Islam,” demikian dikatakan Soekarno, dalam sebuah suratnya kepada A. Hassan.
Soekarno sangat terkesan dengan ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad ini. Selain itu, beliau juga\ sangat terkesan dengan pencapaian Islam yang pernah menguasai hampir sepertiga luas dunia, yang dikenal dengan masa kegemilangan Islam, The Glory of Islam. Namun, masa keemasan ini dapat dikatakan hanya berusia pendek yang kemudian membawa umat Islam terjerumus kedalam lubang kemunduran, kekolotan. Lebih-lebih krisis tersebut terjadi secara total, artinya bukan hanya dalam lapangan dan keagamaan saja, tetapi juga diiringi dengan kemunduran pada ilmu pengetahuan, kebudayaan, kesenian maupun kesusastraan. Selain itu, umat Islam juga banyak mengalami kekalahan-kekalahan dalam bidang politik maupun ekonomi akibat pukulan dan tekanan dari pihak kolonialisme dan imperialism.  menurut Soekarno, factor-faktor yang membuat kemunduran pada umat Islam adalah:
1. Berubahnya demokrasi menjadi aristokrasi, dan republik menjadi dinasti.
Berikut pendapat Soekarno tentang berubahnya system dalam Islam, yang mengutip pendapat Tjokroaminoto, “Rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam itu sendiri. Rusaknya Islam itu ialah oleh karena rusaknya budi pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiyah mengutamakan asas dinasti keduniawian untuk aturan khalifah, sesudah khalifah-khalifah itu menjadi raja, maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. Amir Muawiyahlah yang harus memikul tanggung jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenarnya.
Penyelewengan Muawiyah ini bukan hanya mengakibatkan kerusakan pada system politik umat Islam, tetapi telah menyebabkan perubahan di segala bidang, khususnya bidang-bidang social hingga mengakibatkan lunturnya keimanan dari umat Islam. Padahal iman adalah benteng yang memberi keteguhan kepada umat Islam.
2. Taqlid yang mematikan kehidupan berpikir dalam Islam.
Ulama-ulama dan cendekiawan Islam yang terus melanjutkan perjuangan Rasulullah SAW, dengan terus menjabarkan ajaran agama Islam dan membentuk hokum Islam yang lazim disebut syari’at atau fiqh. Cendekiawan-cendekiawan tersbut berusaha menyimpulkan hokum Islam tersebut sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut Soekarno, sangat sadar bahwa hokum yang ditetapkan, terutama yang berkaitan dengan masyarakat, haruslah bersifat supel, cukup “karet”, cukup elastic, agar dapat tetap bertahan di kemudian hari, karena ajaran agama yang dibawa bersifat universal.
Namun dalam perjalanan syari’at, karena memang ulama Islam tidaklah hanya satu, maka menimbulkan banyak penafsiran hingga muncul beberapa mazhab dalam Islam. Pada akhirnya, ada empat mazhab yang diakui kebenarannya dan umat Islam harus bertaqlid saja kepada kyai atau ulama dari satu mazhab imam yang empat itu. dari hal ini, menurut Soekarno, mengakibatkan pintu-pintu ijtihad telah tertutup, karena terlalu terpaku oleh mazhab tersebut dan menjadi mengenyampingkan Al-Qur’an, yang menurut Soekarno pula hal ini sudah tidak sesuai dengan roh/jiwa Islam. Mengutip pendapat Snouck Hurgronye, Soekarno menyebutkan:
…ulama-ulama dari segala waktu adalah terikat pada ucapan-ucapan ulama yang terdahulu dari mereka, masing-masing di kalangan mazhabnya sendiri-sendiri. Mereka hanya memilih pendapat-pendapatnya autoriteit-autoriteit yang terdahulu dari mereka. Maka syari’at itu seumumnya, akhirnya tergantung pada ijma’ dan tidak kepada meksud-maksudnya firman yang asli.
Tertutupnya pintu ijtihad karena sikap taqlid di kalangan umat Islam. Namun, mazhab-mazhab ini hanyalah salah satu factor yang menimbulkan sikap taqlid. Factor lain seperti munculnya aliran-aliran dalam bidang teologi, yang pada akhirnya melahirkan satu aliran yang paling dominan karena adanya sokongan dari penguasa pada zamannya. Seperti aliran Asy’ariyah, Mu’tazilah, Maturidiyah, Jbariyah, Qodariyah, dan Murji’ah.
1. Berpedoman pada hadist-hadist Dhaif (lemah).         
Hadist baru dikumpulkan dan dibukukan seabad setelah Nabi wafat. Dari pengumpulan Hadist ini, kemudian dibagi menjadi beberapa bagian menurut kuat dan lemahnya Hadist tersebut.
Dalam sebuah suratnya kepada A. Hassan, Soekarno mengatakan: Saya perlu kepada “Bukhari atau Muslim” itu, karena distulah dihimpun hadist-hadist yang dinamakan shahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengamat Islam bangsa Inggris, Bukhari pun masih terselip hadist-hadist yang lemah. Dia pun menerangkan, bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam banyaklah karena hadist-hadist lemah itu, yang sering lebih laku daripada ayat-ayat Al-Qur’an. Saya kira anggapan ini adalah benar. Berapa besarkah kebencanaan yang telah datang kepada umat Islam dari misalnya “hadist” yang menyatakan, bahwa dunia bagi orang Serani dan akherat bagi orang “Muslim”.
2. Aristokrasi dalam masyarakat Islam.
Soekarno menyebutkan:
… Menurut keyakinan saya, salah satu kecelakaan Islam zaman sekarang ini ialah, pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum sayid misalnya, mereka punya brosur “bukti kebenaran” saya sudah baca, tetapi tidak bsia meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal “aristokrasi Islam”. Pengeramatran manusia ini adalah salah satu sebab mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat. Oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid, kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan.
3. Kurangnya kesadaran sejarah.
Kurangnya kesadaran sejarah dan kurangnya perhatian ulama-ulama serta umat Islam terhadap sejarah, membuat umat Islam tidak mampu mencari jalan keluar dari kemunduran yang telah lama mereka derita. Dalam hal ini Soekarno berkata:
Umumnya kita punya kyai-kyai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarah, ya boleh saya katakan kebanyakan tak mengetahui sedikitpun dari sejarah itu. Mereka hanya menuju kepada “agama khususi” saja, dan dari agama khususi ini, terutama sekali bagian fiqh. Sejarah, apalagi bagian lebih dalam, yakni yang mempelajari “kekuatan-kekuatan masyarakat” yang menyebabkan kemajuan dan kemunduran suatu bangsa. Padahal, di sinilah padang penyelidikan yang maha penting. Apa sebab mundur? Apa sebab bangsa ini di zaman ini begitu? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus berputar terus menerus di dalam kita punya ingatan, kalau kita mempelajari naik turunnya sejarah itu.”
Rasional, simplistic dan kesamarataan dalam ajaran Islam, di samping jiwa Islam itu sendiri, merupakan modal dasar untuk membawa umatnya mencapai kemajuan dan untuk mengejar zaman. Tidak taqlid dan terus melakukan ijtihad hingga melahirkan kemaslahatan. Ijtihad harus mengedepankan keadilan dan kesejahteraan, selain itu, ijtihad harus berusaha mencapai kebenaran yang tidak memihak bagi seluruh umat.
Menurut pandangan Soekarno, Islam memang bersesuaian dengan paham rasionalisme. Beliau berkata:
Marilah kita, kalau kita tidak mau mendurhakai zaman, marilah kita mengangkat rasionalisme itu menjadi kita punya bintang petunjuk di dalam mengartikan Islam. Kita tidak akan rugi, kita akan untung. Sebab Tuhan sendiri di dalam Al-Qur’an berulang-ulang memerintahkan kita berbuat demikian itu.
Rasionalismelah, menurut Soekarno, yang mampu merombak kekolotan, menghapuskan taqlid dan mampu menyesuaikan pengertian Islam dan Fiqh dengan peredaran zaman serta memberikan kebebasan berpikir bagi umat Islam untuk terus survive dan maju di setiap zamannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Selain itu, rasional juga akan membawa kemujuan bagi umat Islam. Dalam hal ini Soekarno berkata: Islam is progress, Islam itu kemajuan, begitu telah saya tuliskan dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fadhu, kemajuan karena Sunnah, tetapi juga karena kemajuan, karena diluaskan dan dilapangkan oleh aturan jaiz, atau mubah yang lebarnya melampaui batas-batas zaman.
Tetapi, dengan perubahan zaman yang menuntut perubahan hukum tersebut, tidak berarti bahwa jiwa agama ikut berubah, bahkan sumber pokok ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tidak ikut berubah. Soekarno berkata:
Panta rei, kata Heraclitus, segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala mendapat pembaruan. Di dalam pengertian tentang ajaran-ajaran agama pun Panta rei, di dalam hal-hal inipun selalu ada perubahan. Pokok tidak berubah, agama tidak berubah, Islam sejati tidak berubah, firman Allah dan sunnah Nabi tidak berubah, tetapi pengertian tentang hal-hal inilah yang berubah. Pengoreksian itulah hakikat semua ijtihad, pengoreksian itulah hakikatnya semua penyelidikan yang membawa ke lapangan kemajuan.
Mencontoh Barat tentunya dalam hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan sifatnya tidaklah merupakan hal yang bertentangan dan dilarang oleh Islam. Soekarno mengetahui Nabi sendiri pernah bersabda bahwa “kamu lebih tehu urusan-urusan duniamu”. Soekarno berkata:
Alangkah baiknya, ia (muslim) ingat, bahwa di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship, boleh berqiyas, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh berradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh ber hyper-hyper modern, asal tidak nyata dihukum haram atau makruh oleh Allah atau Rasul.
Soekarno sering mengatakan bahwa yang terpenting adalah bagaimana umat Islam harus mengetahui dan menghayati jiwa Islam. Sebab bisa saja orang menjalankan hokum Islam sesuai dengan syari’at atau fiqh, namun pada dasarnya berlawanan dengan jiwa Islam. Sebagai contohnya beliau menyebutkan kasus-kasus tertentu dalam tulisannya yang berjudul “Islam sontoloyo”.  oleh karena itu, Islam sesuai dengan jiwanya, karena mereka hanya memahami sesuai dengan teksnya dan kurang menyesuaikan dengan realita yang sebenarnya. Soekarno pun mengatakan, “marilah saya bawa tuan turun dari awan-awan yang tinggi itu, ke atas tanahnya bumi yang nyata, dan kita bercakap-cakap di atas bumi dengan cara yang riil.” jadi, apabila Islam ingin maju, maka harus terus mengikuti arus peradaban sekalipun itu bukan peradaban Islam. Yang terpenting adalah eksistensi nilai-nilai Islam yang harus menjadi pedoman tiap-tiap umat Muslim. Barat tidaklah buruk, apabila umat Islam mampu mensinergikannya dengan nilai-nilai Islam. Asalkan kita tidak terus-menerus terjebak pada ketaqlidan namun terus menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keadilan dan kesejahteraan umat. Soekarno memiliki cita-cita agar Islam dapat beradaptasi dengan berbagai paradigm yang ada tanpa mengusik kemurnian Islam itu sendiri dan eksistensi peradaban dunia dapat terus diwarnai oleh ajaran Islam. Sebagai salah satu bentuk realisasinya, umat Islam juga perlu mempelajari Islam dan Politik. Mengapa demikian?
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwasannya semangat yang dijiwai oleh ajaran Islam telah membawa kejayaan. Telah lahir dari masyarakat Islam ahli bidang filsafat, kedokteran, perbintangan, matematika, sastra dan lain sebagainya. Dalam bidang politik, Negara Islam termasuk Negara yang disegani di dunia, dan masa-masa itu disebut dengan the glory of Islam. Berbarengan dengan lahirnya ilmuan-ilmuan muslim, lahir pula para cendekiawan-cendekiawan muslim yang mencoba merumuskan pemikiran politik dan ketatanegaraan dalam dunia Islam. Pemikiran-pemikiran cendekiawan ini dibagi menjadi dua, yaitu; pertama, idealisasi dalam pemikiran politik, dan kedua, terbatas kepada pemahaman terhadap situasi dan kondisi politik dan kemudian mencoba merumuskan gagasan tentang bagaimana memperbaiki situasi dan kondisi tersebut.
Soekarno, sempat mengamati gerakan yang dipimpin oleh Jmaludin Al-Afghani dengan Pan-Islamismenya. Menurut Soekarno, gerakan ini adalah gerakan internasionalisme. Oleh karena itu tidak terbatas pada suatu bangsa saja. Beliau menyebutkan bahwa pergerakan Islamisme pada hakikatnya tiada bangsa. Soekarno pun mengakui adanya konsepsi territorial politik dalam agama Islam: Darul Islam dan Darul Harb. Soekarno mengatakan:
Islam yang sejati adalah satu religious democratie, satu kerakyatan yang bersandar kepada persatuan agama. Islam yang sejati mencantumkan kepada soal khalifah itu beberapa syarat, yang dua diantaranya maha penting, maha riil. Khalifah harus dipilih oleh umat Islam dan khalifah harus berkuasa sungguh-sungguh buat menegakkan dan melindungi Islam di seluruh kalangan umat.
Tetapi konsep khilafah tersebut, termasuk dengan syarat-syaratnya, telah berakhir dengan naiknya Muawiyah sebagai khalifah setelah Ali bin Abi Thalib. Dalam hal ini Soekarno mengatakan, “Padamlah tabiat Islam yang sebenarnya.”
Oleh sebab itu, Soekarno mencari alternative lain untuk jalan menuju Islam yang bisa lebih ideal di tiap-tiap jamannya. Dalam hal ini Soekarno banyak dipengaruhi oleh gerakan politik Islam di Turki yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk, bahkan Soekarno dianggap sebagai orang yang mempropagandakan ide-idenya di Indonesia. Berikut alasan-alasan Soekarno tentang Islam ala Kemal:
1. Bahwa pada masa khalifah-khalifah Usmaniah di Turki, sudah terdapat dualism hokum, yang pertama hokum Islam yang kedua yang difirmankan oleh Sultan atau khalifah, dan parlemen.
2. Dualism hokum ini membawa kemunduran, karena pengaruh Syaikhul Islam tetap dominan, sementara mereka berpandangan kolot dan tidak menjamin kemajuan umat Islam, bahkan justru menghambat.
3. Hal ini disebabkan, karena Islam yang dianut oleh masyarakat Turki bukan lagi Islam yang sejati, tetapi menurutnya adalah Islam yang berwajah tiga: Yunani, Iran dan Arab.
4. Oleh kaerna itu, bila hal ini dilanjutkan dan manakala agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang bertangan besi.
5. Oleh karena itu, persatuan agama dan Negara tidak menjamin kemajuan, terutama kemajuan ekonomi, bahkan justru menghambat.
6. Agama Islam sendiri, dengan persatuan tersebut, justru terhambat dan terkungkung.
7. Karenanya, tindakan pemisahan ini mempunyai manfaat ganda yang keduanya mendatangkan keuntungan. Yang pertama memerdekakakn agama dari Negara dan yang kedua memerdekakan Negara dari agama.
8. Kemerdekaan agama dan Negara itu, memungkinkan keduanya untuk bergerak maju.
Dari sini dapat dikatakan bahwa cita-cita Soekarno yang paling besar adalah menyatukan seluruh elemen masyarakat yang terkotak-kotak karena perbedaan-perbedaan faham. Walaupun, lagi-lagi perilaku politis Soekarno pastilah dibentuk dari pemikirannya yang cenderung realistis. Yang terpenting baginya adalah bersatu melawan musuh yang jelas-jelas ada di depan mata, yaitu Imperialisme Barat.
Soekarno, Islam dan Nasionalisme Indonesia
Dalam hal ini, ide Soekarno yang paling jelas untuk menyatukan Nasionalism dan Islam adalah dengan merumuskan Pancasila. Walaupun pada awalnya beliau menginginkan suatu bentuk persatuan federative dengan ikatan sangat longgar, maka selanjutnya beliau menetapkan asas bersama. Soekarno mengatakan dalam pidatonya:
Kita bersama-sama mencari persetujuan philosophische gronslag, mencari satu weltanschuung yang kita setujui. Saya katakana lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagus setujui, yang Ki Hajar setujui, yang saudara Sanusi setujui, yang saudara Abi Kusno setujui, yang saudara Lien Keen Hian setujui, pendeknya kita mencari satu modus… baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat… kita hendak mendirikan satu Negara “semua buat semua”, kita punya tujuan.[13]




DAFTAR PUSTAKA

Rambe, Safrizal. Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008
Shiraisi. Takashi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Graffiti, 1977
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta, 1964
Suryanegara, Ahmad Mansyur. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009
Van Niel, Robert. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 2009
http://politik.kompasiana.com/2013/07/25/nasionalisme-dan-islam-soekarno-579561.html



[1] Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, Jakarta:
Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, hal.59-6
[2]Ibid, hal.76
[3] Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Graffiti,
1977, hal.73-7
[4] Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, op.cit,
hal.73
[5] Ibid, hal.79
[6] Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, op.cit,
hal.80
[7] Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit, hal.10
[8]  Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009, hal.212
[9] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, op.cit, hal.408
[10]  Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942 op.cit,
hal.244
[11] Ir. Soekarno,  Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, hal. 7.
[12] Ibid, hal 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar