Jumat, 24 November 2017

Politik Nabi Muhamad di Madinah



Nama   : Ja’far Sidik
Kelas   : VI.A
NIM    : 11140150000080
Politik Nabi Muhamad di Madinah

Madinah merupakan sebuah wilayah di Arab Saudi yang berjarak 210 mil (340km) dari Mekkah dan sekitar 120 mil (190 km) dari garis  pantai Laut Merah.  Secara bahasa Arab, Madinah (المدينة)  berarti “kota”. Sebelum kedatangan Islam, kota ini diikenal dengan nama Yastrib. Kata Yastrib disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 13. Secara geografis, kota ini terletak pada Koordinat 24°28′LU dan 39°36′BT. Kota ini merupakan dataran yang dikelilingi gunung dan bukit serta memiliki iklim gurun. Suhu tertinggi di kota Madinah berkisar antara 30°C sampai 45°C pada waktu musim panas, dan suhu rata-rata berkisar antara 10 °C sampai 25 °C [1].
Situasi di Madinah berbeda dengan di Mekkah, Madinah adalah sebuah daerah pertanian namun sebagaimana Mekah, Madinah juga dihuni oleh beberapa klan atau suku dan tidak dipimpin oleh sebuah suku yang tunggal. Penduduk Yastrib (Madinah) sebelum Islam terdiri dari dua suku bangsa yaitu Yahudi dan Arab. Kedua suku ini saling bermusuhan. Bangsa yahudi dan bangsa Arab bersaing menguasai bidang perdagangan yang ada di Madinah. Siasat yang dilakukan kaum Yahudi untuk memenangkan persaingan ini adalah dengan mengadu domba atau memecah belah dua suku besar yakni suku Aws dan suku Khazraj. Siasat ini berhasil dengan sangat baik dan kaum Yahudi berhasil kembali merebut posisi yang kuat dalam bidang ekonomi atau perdagangan. Siasat ini mendorong suku Khazraj bersekutu dengan Bani Qainuqoh (Yahudi). Sedangkan suku ‘Aws bersekutu dengan Bani Quraizah dan Bani Nadir. Puncak dari permusuhan tersebut adalah perang Buas pada tahun 618 M. seusai perang Buas baik suku Aws maupun Khazraj menyadari akibat permusuhan mereka sehingga mereka berdamai. Setelah kedua suku berdamai mereka pergi ke Mekah untuk menziaarahi Ka’bah di Mekkah. Nabi Muhammad SAW menemui rombongan mereka. Beliau memperkenalkan Islam dan mengajak mereka supaya bertauhid kepada Allah SWT. Masyarakat Yastib mudah untuk menerima ajaran Nabi karena sebelumnya mereka sudah mendengar ajaran Taurat dari kaum Yahudi dan sudah tidak asing lagi dengan ajaran Tauhid, maka mereka menyatakan untuk masuk Islam dan berjanji akan mengajak penduduk Yastrib yang lainnya untuk masuk Islam. perjanjian antara suku Khazraj dan Aus dengan Nabi Muhammad SAW dikenal dengan nama perjanjian Aqobah. Pada perjanjian Aqobah I dikuti oleh 12 orang. Dan pada perjanjian Aqobah II diikuti oleh 73 orang. Pada perjanjian Aqobah I, Ubadah ibn Thamit mengatakan pada perjanjian ini kami telah berjanji pada Rasulullah SAW bahw akami tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Kami tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak kami, memfitnah, dan tidak akan mendurhakai Muhammad pada sesuatu yang tidak kami inginkan. Sedangkan perjanjian Aqobah kedua mereka berikrar “Demi Allah kami akan membela engkau ya Rasulullah seperti halnya kami membela istri dan anak kami sendirisesungguhnya kami adalah anak-anak pahlawan yang selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar kami ya junjungan”. [2]
            Setelah meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khodijah yang merupakan pendukung dan pelindung Nabi Muhammad SAW. Tahun tersebut tujuh tetua suku Quraisy memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW ketika beliau sedang tidur. Pembunuhann ini direncanakan pada malam bulan september tahun 622 M, salah satu paman Nabi Muhammad SAW mempelopori rencana dan persengkongkolan tersebut. Sesungguhnya ketujuh tetua Quraisy itu masih memiliki hubungan kerabat dengan Nabi Muhammad SA, namunhal itu tidak melunakan tekad mereka. Nabi Muhammad SAW yang mendengar rencana tersebut langsung menyusun rencana dengan dua orang sahabat dekatnya yaitu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar As-Shidiq. Malam itu Nabi dan Abu Bakar As-Shidiq menyelinap pergi ke padang gurun, Ali bin Abu Thalib berbaring di tempat tidur Nabi Muhammad SAW agar seolah-olah beliau masih tertidur disana. Ketika para pembunuh menerobos masuk rumah Nabi Muhammad SAW mereka marah karena hanya menemukan Ali, tetapi mereka membebaskannya dan mengirim regu pencari keluar untuk memburu Nabi Muhammad SAW [3].
Dalam perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW menuju Yastrib beliau memasuki Quba pada tanggal 12 Raiul awal tahun pertama hijriah dan singgah selama empat hari di Quba. Dalam persinggahannya tersebut Nabi Muhammad SAW mendirikan Masjid Quba yang merupakan masjid pertama dalam sejarah Islam. Tujuan di dirikannya masjid ini adalah sebagai pra sarana yang menyatukan umat Islam dan menjadi benteng pertahanan yang bersifat moril dan spiritual dalam menumbuhkan semangat jihad umat islam yang pada saat itu belum terlalu banyak jumlahnya[4]
Setelah mendirikan Masjid Qua, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan menuju Yastrib dan singgah di sebuah lembah Bani Salim yang bertepatan dengan hari Jum’at. Lalu Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya melaksanakan ibadah Sholat Jum’at untuk yang pertama kalinya. Para ahli sejarawan menyatakan khotbah pada saat itu merupakan proklamasi lahirnya negri Islam yang berdasarkan pada perikemanusiaan (al-adatul insaniya), al-Syura (Demokrasi), persatuan Islam (al-wahdah al-islamiyah) dan persaudaraan Islam (al-ukhuwah al-Islamiyah).[5]
Setelah Nabi Muhammad SAW tiba di Yastrib dengan selamat beberapa penduduk Muslim di Mekkah juga mengikuti  jejak beliau untuk Hijrah ke Yastrib, mereka meninggalkan harta bendanya dan sebagian mereka memutuskan hubungan dengan keluarga dan kerabatnya yang ada di Mekkah yang belum masuk Islam. Mereka juga beranggapan jika di Madinah akan lebih aman.[6] Nabi Muhammad SAW setelah sampai di Yastrib bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan Anshar yang terdiri dari beberapa kabilah umtuk menyelesaikan segala pertikaian diantara mereka dan menyatukan tali persaudaraan diantara mereka sehingga timbul rasa persaudaraan yang kuat dan memangun “al-wahdah al-Islamiyah”. Nabi Muhammad SAW juga  menunjuk salah satu muslim Yastrib untuk membina dan membantu setiap keluarga musluslim Mekkah yang hijrah. Penduduk asli Yastrib sebagai tuan rumah bagi pendatang baru dan keluarganya (Muhajirin) memantu mereka untuk memulai kehidupan baru, sejak saat itulah muslim Yastrib disebut juga dengan kaum Anshar yang berarti “para penolong”.[7] Peristiwa tersebut dikenal dengan “Piagam Madinah” perjanian ini menjadikan Madinah sebagai sebuah konfederasi, yang di dalamnya berisi tentang dasar-dasar kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan militer bagi semua warga Madinah baik yang Muslim, Yahudi maupun kaum Musyrikin. Isi perjanjian dari Piagam Madinah tersebut yaitu:
1.      pertama setiap suku dan kelompok harus mengurus urusannya sendiri dan menyelesaikan perselisihan dan pertengkarannya dengan hukum atau adantnya sendiri.
2.      pihak Yahudi maupun Muslim tidak boleh langsung memiliki perjanjian atau persetujuan dengan pihak manapun yang berada diluar Madinah.
3.      Jika terjadi peperangan terjadi diluar kota Madinah, penduduk madinah tidak boleh dipaksa untuk ikut berperang dan memihak salah satu pihak yang berperang terseut.
4.      Orang Yahudi harus ikut menyumbang biaya bersama kaum Muslimin jika terjadi peperangan melawan musuh yang mengancam Madinah, bahu-memahu melawan musuh bersama.
5.      Setiap suku atau kelompok bebas memeluk agamanya, orang Yahudi melaksanakan Agama mereka dan Kaum Muslimin bebas mengamalkan agamanya.
6.      Apabila ada serangan dari luar, setiap pihak akan saling membantu dan apabila ada salah satu pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian dengan suatu golongan maka semuanya harus berdamai pula bersamanya. Tidak ada pihak yang boleh melindungi orang-orang Quraisy.
7.      Kota Madinah harus dianggap suci dan tidak boleh dinodai oleh pihak-pihak yang mengikat persetujuan ini.
8.      Dalam segala perselisihan yang timbul diantara pihak-pihak di Madinah, Nabi Muhammad SAW adalah penengahnya dan keputusannya adalah yang terakhir.[8]
Hasil dari perjanjian tersebut memiliki dampak yang begitu besar bagi masyarakat Madinah,  penduduk Arab Asli Madinah pun secara bertahap menyatakan diri masuk Islam. Namun tiga Suku Yahudi di Madinah sebagian besar menolak masuk Islam. Sementara itu, kaum Quraisy juga belum menghentikan upayanya untuk membunuh Nabi Muhammad SAW meskipun beliau kini tinggal 250 mil jauhnya, selain kaum Quraisy menetapkan seratus unta bagi siapa saja yang bisa membunuh dan membawa kepala Nabi Muhammad SAW, para pemimpin Quraisy juga tetap berusaha mengusir para pengikut Nabi Muhammad SAW. Setelah itu kaum Quraisy menyiapkan seribu pasukan untuk menyerang Madinah dan kaum Muslim menemui mereka dengan pasukan yang hanya berjumlah tiga ratus orang disebuah tempat yang bernama Badar dan berhasil mengalahkan mereka dengan telak. Al-Qur’an menyebut Perang Badar sebagai bukti kemampuan Allah untuk menentukan hasil dari setiap pertempuran, tidak peduli apapun rintangannya.[9]
Setelah kekalahan dari perang Badar, kaum Quraisy menyiapkan kembali serangan pada tahunketiga Hijriyah, mereka menyiapkan pasukan yang jumlahnya tiga kali lipat. Mereka menuju madinah dengan kekuatan tiga ribu orang, namun kaum Muslimin hanya mempunyai 950 prajurit. Jika dilihat dari jumlah kaum muslimin akan kalah dengan melawan pasukan yang jumlahnya tiga kali lipat, namun mereka memiliki satu-satunya aset penting, yaitu Allah berada di Pihak mereka. Pertempuran ini terjadi disebuah tempat bernama uhud. Pada awalnya umat Islam tampak akan menang lagi, ketika kaum Quraisy mundur sebagian kaum muslimin tidak menaati perintah Nabi Muhammad SAW. Merekia pecah barisan dan pasukan pemanah yang berada di bukit Uhud turun dan berebut barang rampasan perang. Pada saat itulah kaum Quraisy yang di pimpin oleh Khalid ibn al-Walid  menyerang kaum Muslim kembali dan menjadi kekalahan agi umat Muslim, tujuh puluh muslim tewas dan Nabi Muhammad SAW terluka. Dua tahun kemudian kaum Quraisy merencanakan serangan kembali. Dan bersekutu dengan Bani Qurayza (suku Yahudi di madinah yang berkhianat), atas saran Salman Al-Farisi pasukan Muslim membangun parit yang mengelilingi Madinah. Disaat pasukan Quraisy tidak bisa masuk ke Madinah dan berkemah diluar Madinah sebuah Badai menghancurkan pasukan Quraisy dan memberikan kemenangan bagi kaum Muslim.[10]
            Pada bulan maret tahun 628 M (Dzulqaidah, 6 Hijriyah), Nabi Muhammad SAW dan para sahabar hendak melaksanakan iadah haji dan umrah dan merencanakan perjanjian damai dengan kaum Quraisy, perjalanan itu diharapkan aman dan damai dari gangguan kafir Quraisy dilaksanakan dengan membawa 70 ekor unta untuk pelaksanaan kurban dan Nabi Muhammad SAW menggunakan pakaian Ihram. Namun dalam perjalanannya kabar tentang rombongan Nabi diketahui oleh kaum Quraisy, namun Nabi memerintahkan rombongan untuk mengambil jalan lain supaya tidak terjadi pertumpahan darah. Sesampainya disekitar kota Mekkah, rombongan melihat kaum kafir Quraisy hendak mencegah mereka, lalu Nabi Muhammad SAW memerintahkan Buda’il kepala suku Khuza’ah untuk menyampaikan pesan kepada kafir Quraisy bahwa kedatangan meraka murni untuk melaksnakan ibadah haji dengan damai.setelah mengirim pesan tersebut rombongan Nabi Muhammad SAW berhenti di daerah Hubaidiyah dan melakukan perjanjian dengan kaum Quraisy yang dikenal dengan perjanjian Hubaidiyah.[11] Pokok isi perjanjian tersebut yaitu:
  1.  Nabi Muhammad dan pengikutnya harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji, dan tahun depan mereka boleh melaksanakan ibdah haji dalamjangka waktu tiga hari.
  2. Kedua belah pihak tidak boleh menyerang selama sepuluh tahun.
  3. Siapa saja dari kedua belah pihak untuk bergaung dengan salah satu pihak maka diperkenankan.
  4. Siapa saja yang datang kepada Nabi Muhammad SAW tanpa walinya maka harus di kembalikan dan barang siapa yang datang ke pihak Quraisy maka tidak akan dikembalikan.[12]
Sekilas dari perjanjian tersebut telah memberikan kelemahan agi kaum Muslim, dan menjadi pertentangan diantara para sahabat. Namun terdapat beberapa keuntungan dari perjanjian Hubaidiyah, yaitu:
1.      Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Suhail bin amr sebagai perwakilan dari kaum Quraisy. Suku Quraisy merupakan suku terhormat di Arab dan siapapun akan menerima yang dilakukannya. Dengan perjanjian ini  Madinah mempunyai otoritas sendiri, setelah suku Quraisy menyetujuinya maka suku-suku lain akan mengikutinya.
2.      Dengan perjanjian ini Madinah mempunyai otoritas dalam memberikan hukuman kepada suku Quraisy yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian.
3.      Perjanjian terseut menjadi legalitas bagi perjalanan dakwah umat Islam dalam menegakan syariat Islam.
4.      Membuka keran dukungan bagi kabilah-kabilah lain untuk bergabung bersama kaum muslim karena menganggap suku Quraisy sudah bergabung.
5.      Pengamilann keputusan Nai Muhammad SAW menunjukan kepada kepentingan kemaslahatan bannyak orang.[13]
Pasca perjanjian tersebut kaum muslimin jumlahnya jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hubbaidiyah sekitar 1400 orang meningkat menjadi 10.000 orang dua tahun setelahnya ketika peristiwa Fathul Mekkah. Fathul Mekkah sendiri terjadi karena Kaum Quraisy melanggar Perjanjian Hubaidiyah. Setelah peristiwa tersebut Abu Bakar berkomentar“.[14] Dengan adanya perjanjian tersebut Madinah telah menjadi daulah yang mempunyai kekuasaan mandiri. Terbukti dengan hubungan diplomasi yang dilaksanakan Nai Muhammad SAW dengan berbagai pemimpin tetangga seperti Mesir, Persia, Romawi, Habsyah dan ekspansinya ke berbbagai penjuru dunia.[15]



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Madinah diakses pada hari minggu tanggal 17/092017  pukul 11.28
[2]  Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejara, (Yogyakarta : UIN-Malang Pres, 2008), hlm.102-103
[3] Tamim Ansary, Destiny Distrupted : Ahistory of The World Through Islamic Eyes. Terj dari Sejarah Dunia Versi Islam oleh Yuliani Liputo. (Jakarta : Zaman, 2009). H 58
[4] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h 102-103
[5] A.  Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h 50
[6] Tamim Ansary, Destiny Distrupted : A history of The World Through Islamic Eyes. Terj dari Sejarah Dunia Versi Islam oleh Yuliani Liputo.. H 59
[7] Ibid, H 60
[8] M Husaiyn Hykel, The Life of Mohammad, hal 180-181. Dalam Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Militer, terj. Jakarta: Amzah, 2006 h 271-273
[9] Tamim Ansary, Destiny Distrupted : A history of The World Through Islamic Eyes. Terj dari Sejarah Dunia Versi Islam oleh Yuliani Liputo. H 64
[10] ibid H 65-68
[11] Ali Geno Berutu, Strategi Politik Nai Muhammmad dalam Perjanjian Huaidiyah, e-journal, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014. H  4-6

[12] Ibid, H  6-7
[13] Ibid, H 10-11
[14] Geno, Strategi Politik Nai Muhammmad dalam Perjanjian Huaidiyah. H  13
[15] Ibid. H 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar