Nama : Ja’far Sidik
Kelas : VI.A
NIM : 11140150000080
Politik
Nabi Muhamad di Madinah
Madinah merupakan sebuah wilayah di Arab Saudi yang
berjarak 210 mil (340km) dari Mekkah dan sekitar 120 mil (190 km) dari
garis pantai Laut Merah. Secara bahasa Arab, Madinah (المدينة) berarti “kota”. Sebelum kedatangan Islam, kota
ini diikenal dengan nama Yastrib. Kata Yastrib disebutkan dalam Al-Qur’an surat
Al-Ahzab ayat 13. Secara geografis, kota ini terletak pada Koordinat 24°28′LU dan 39°36′BT. Kota ini
merupakan dataran yang dikelilingi gunung dan bukit serta memiliki iklim gurun.
Suhu tertinggi di kota Madinah berkisar antara 30°C
sampai 45°C pada waktu musim panas, dan suhu rata-rata berkisar antara
10 °C sampai 25 °C [1].
Situasi di Madinah berbeda dengan di Mekkah, Madinah
adalah sebuah daerah pertanian namun sebagaimana Mekah, Madinah juga dihuni
oleh beberapa klan atau suku dan tidak dipimpin oleh sebuah suku yang tunggal. Penduduk
Yastrib (Madinah) sebelum Islam terdiri dari dua suku bangsa yaitu Yahudi dan
Arab. Kedua suku ini saling bermusuhan. Bangsa yahudi dan bangsa Arab bersaing
menguasai bidang perdagangan yang ada di Madinah. Siasat yang dilakukan kaum
Yahudi untuk memenangkan persaingan ini adalah dengan mengadu domba atau
memecah belah dua suku besar yakni suku Aws dan suku Khazraj. Siasat ini
berhasil dengan sangat baik dan kaum Yahudi berhasil kembali merebut posisi
yang kuat dalam bidang ekonomi atau perdagangan. Siasat ini mendorong suku
Khazraj bersekutu dengan Bani Qainuqoh (Yahudi). Sedangkan suku ‘Aws bersekutu
dengan Bani Quraizah dan Bani Nadir. Puncak dari permusuhan tersebut adalah
perang Buas pada tahun 618 M. seusai perang Buas baik suku Aws maupun Khazraj
menyadari akibat permusuhan mereka sehingga mereka berdamai. Setelah kedua suku
berdamai mereka pergi ke Mekah untuk menziaarahi Ka’bah di Mekkah. Nabi
Muhammad SAW menemui rombongan mereka. Beliau memperkenalkan Islam dan mengajak
mereka supaya bertauhid kepada Allah SWT. Masyarakat Yastib mudah untuk
menerima ajaran Nabi karena sebelumnya mereka sudah mendengar ajaran Taurat
dari kaum Yahudi dan sudah tidak asing lagi dengan ajaran Tauhid, maka mereka
menyatakan untuk masuk Islam dan berjanji akan mengajak penduduk Yastrib yang
lainnya untuk masuk Islam. perjanjian antara suku Khazraj dan Aus dengan Nabi
Muhammad SAW dikenal dengan nama perjanjian Aqobah. Pada perjanjian Aqobah I
dikuti oleh 12 orang. Dan pada perjanjian Aqobah II diikuti oleh 73 orang. Pada
perjanjian Aqobah I, Ubadah ibn Thamit mengatakan pada perjanjian ini kami
telah berjanji pada Rasulullah SAW bahw akami tidak akan mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun. Kami tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak
kami, memfitnah, dan tidak akan mendurhakai Muhammad pada sesuatu yang tidak
kami inginkan. Sedangkan perjanjian Aqobah kedua mereka berikrar “Demi Allah
kami akan membela engkau ya Rasulullah seperti halnya kami membela istri dan
anak kami sendirisesungguhnya kami adalah anak-anak pahlawan yang selalu siap
mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar kami ya junjungan”. [2]
Setelah meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khodijah yang
merupakan pendukung dan pelindung Nabi Muhammad SAW. Tahun tersebut tujuh tetua
suku Quraisy memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW ketika beliau sedang
tidur. Pembunuhann ini direncanakan pada malam bulan september tahun 622 M,
salah satu paman Nabi Muhammad SAW mempelopori rencana dan persengkongkolan
tersebut. Sesungguhnya ketujuh tetua Quraisy itu masih memiliki hubungan
kerabat dengan Nabi Muhammad SA, namunhal itu tidak melunakan tekad mereka.
Nabi Muhammad SAW yang mendengar rencana tersebut langsung menyusun rencana
dengan dua orang sahabat dekatnya yaitu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar
As-Shidiq. Malam itu Nabi dan Abu Bakar As-Shidiq menyelinap pergi ke padang
gurun, Ali bin Abu Thalib berbaring di tempat tidur Nabi Muhammad SAW agar
seolah-olah beliau masih tertidur disana. Ketika para pembunuh menerobos masuk
rumah Nabi Muhammad SAW mereka marah karena hanya menemukan Ali, tetapi mereka
membebaskannya dan mengirim regu pencari keluar untuk memburu Nabi Muhammad SAW [3].
Dalam perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW menuju Yastrib
beliau memasuki Quba pada tanggal 12 Raiul awal tahun pertama hijriah dan
singgah selama empat hari di Quba. Dalam persinggahannya tersebut Nabi Muhammad
SAW mendirikan Masjid Quba yang merupakan masjid pertama dalam sejarah Islam.
Tujuan di dirikannya masjid ini adalah sebagai pra sarana yang menyatukan umat
Islam dan menjadi benteng pertahanan yang bersifat moril dan spiritual dalam
menumbuhkan semangat jihad umat islam yang pada saat itu belum terlalu banyak
jumlahnya[4]
Setelah mendirikan Masjid Qua, Nabi Muhammad SAW melanjutkan
perjalanan menuju Yastrib dan singgah di sebuah lembah Bani Salim yang
bertepatan dengan hari Jum’at. Lalu Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
melaksanakan ibadah Sholat Jum’at untuk yang pertama kalinya. Para ahli
sejarawan menyatakan khotbah pada saat itu merupakan proklamasi lahirnya negri
Islam yang berdasarkan pada perikemanusiaan (al-adatul insaniya), al-Syura
(Demokrasi), persatuan Islam (al-wahdah al-islamiyah) dan persaudaraan Islam
(al-ukhuwah al-Islamiyah).[5]
Setelah Nabi Muhammad SAW tiba di Yastrib dengan selamat
beberapa penduduk Muslim di Mekkah juga mengikuti jejak beliau untuk Hijrah ke Yastrib, mereka
meninggalkan harta bendanya dan sebagian mereka memutuskan hubungan dengan
keluarga dan kerabatnya yang ada di Mekkah yang belum masuk Islam. Mereka juga
beranggapan jika di Madinah akan lebih aman.[6]
Nabi Muhammad SAW setelah sampai di Yastrib bermusyawarah dengan kaum Muhajirin
dan Anshar yang terdiri dari beberapa kabilah umtuk menyelesaikan segala
pertikaian diantara mereka dan menyatukan tali persaudaraan diantara mereka
sehingga timbul rasa persaudaraan yang kuat dan memangun “al-wahdah
al-Islamiyah”. Nabi Muhammad SAW juga menunjuk
salah satu muslim Yastrib untuk membina dan membantu setiap keluarga musluslim
Mekkah yang hijrah. Penduduk asli Yastrib sebagai tuan rumah bagi pendatang
baru dan keluarganya (Muhajirin) memantu mereka untuk memulai kehidupan baru,
sejak saat itulah muslim Yastrib disebut juga dengan kaum Anshar yang berarti
“para penolong”.[7]
Peristiwa tersebut dikenal dengan “Piagam Madinah” perjanian ini menjadikan
Madinah sebagai sebuah konfederasi, yang di dalamnya berisi tentang dasar-dasar
kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan militer bagi semua warga Madinah baik
yang Muslim, Yahudi maupun kaum Musyrikin. Isi perjanjian dari Piagam Madinah
tersebut yaitu:
1.
pertama setiap suku dan kelompok harus mengurus urusannya
sendiri dan menyelesaikan perselisihan dan pertengkarannya dengan hukum atau
adantnya sendiri.
2.
pihak Yahudi maupun Muslim tidak boleh langsung memiliki
perjanjian atau persetujuan dengan pihak manapun yang berada diluar Madinah.
3.
Jika terjadi peperangan terjadi diluar kota Madinah,
penduduk madinah tidak boleh dipaksa untuk ikut berperang dan memihak salah
satu pihak yang berperang terseut.
4.
Orang Yahudi harus ikut menyumbang biaya bersama kaum
Muslimin jika terjadi peperangan melawan musuh yang mengancam Madinah,
bahu-memahu melawan musuh bersama.
5.
Setiap suku atau kelompok bebas memeluk agamanya, orang
Yahudi melaksanakan Agama mereka dan Kaum Muslimin bebas mengamalkan agamanya.
6.
Apabila ada serangan dari luar, setiap pihak akan saling
membantu dan apabila ada salah satu pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian
dengan suatu golongan maka semuanya harus berdamai pula bersamanya. Tidak ada
pihak yang boleh melindungi orang-orang Quraisy.
7.
Kota Madinah harus dianggap suci dan tidak boleh dinodai
oleh pihak-pihak yang mengikat persetujuan ini.
8.
Dalam segala perselisihan yang timbul diantara
pihak-pihak di Madinah, Nabi Muhammad SAW adalah penengahnya dan keputusannya
adalah yang terakhir.[8]
Hasil dari perjanjian tersebut memiliki dampak yang begitu besar bagi
masyarakat Madinah, penduduk Arab Asli
Madinah pun secara bertahap menyatakan diri masuk Islam. Namun tiga Suku Yahudi
di Madinah sebagian besar menolak masuk Islam. Sementara itu, kaum Quraisy juga
belum menghentikan upayanya untuk membunuh Nabi Muhammad SAW meskipun beliau
kini tinggal 250 mil jauhnya, selain kaum Quraisy menetapkan seratus unta bagi
siapa saja yang bisa membunuh dan membawa kepala Nabi Muhammad SAW, para
pemimpin Quraisy juga tetap berusaha mengusir para pengikut Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu kaum Quraisy menyiapkan seribu pasukan untuk menyerang Madinah dan
kaum Muslim menemui mereka dengan pasukan yang hanya berjumlah tiga ratus orang
disebuah tempat yang bernama Badar dan berhasil mengalahkan mereka dengan
telak. Al-Qur’an menyebut Perang Badar sebagai bukti kemampuan Allah untuk
menentukan hasil dari setiap pertempuran, tidak peduli apapun rintangannya.[9]
Setelah kekalahan dari perang Badar, kaum Quraisy menyiapkan kembali
serangan pada tahunketiga Hijriyah, mereka menyiapkan pasukan yang jumlahnya
tiga kali lipat. Mereka menuju madinah dengan kekuatan tiga ribu orang, namun
kaum Muslimin hanya mempunyai 950 prajurit. Jika dilihat dari jumlah kaum
muslimin akan kalah dengan melawan pasukan yang jumlahnya tiga kali lipat,
namun mereka memiliki satu-satunya aset penting, yaitu Allah berada di Pihak
mereka. Pertempuran ini terjadi disebuah tempat bernama uhud. Pada awalnya umat
Islam tampak akan menang lagi, ketika kaum Quraisy mundur sebagian kaum
muslimin tidak menaati perintah Nabi Muhammad SAW. Merekia pecah barisan dan
pasukan pemanah yang berada di bukit Uhud turun dan berebut barang rampasan
perang. Pada saat itulah kaum Quraisy yang di pimpin oleh Khalid ibn
al-Walid menyerang kaum Muslim kembali
dan menjadi kekalahan agi umat Muslim, tujuh puluh muslim tewas dan Nabi
Muhammad SAW terluka. Dua tahun kemudian kaum Quraisy merencanakan serangan
kembali. Dan bersekutu dengan Bani Qurayza (suku Yahudi di madinah yang
berkhianat), atas saran Salman Al-Farisi pasukan Muslim membangun parit yang
mengelilingi Madinah. Disaat pasukan Quraisy tidak bisa masuk ke Madinah dan
berkemah diluar Madinah sebuah Badai menghancurkan pasukan Quraisy dan
memberikan kemenangan bagi kaum Muslim.[10]
Pada bulan maret tahun 628 M
(Dzulqaidah, 6 Hijriyah), Nabi Muhammad SAW dan para sahabar hendak
melaksanakan iadah haji dan umrah dan merencanakan perjanjian damai dengan kaum
Quraisy, perjalanan itu diharapkan aman dan damai dari gangguan kafir Quraisy
dilaksanakan dengan membawa 70 ekor unta untuk pelaksanaan kurban dan Nabi
Muhammad SAW menggunakan pakaian Ihram. Namun dalam perjalanannya kabar tentang
rombongan Nabi diketahui oleh kaum Quraisy, namun Nabi memerintahkan rombongan
untuk mengambil jalan lain supaya tidak terjadi pertumpahan darah. Sesampainya
disekitar kota Mekkah, rombongan melihat kaum kafir Quraisy hendak mencegah
mereka, lalu Nabi Muhammad SAW memerintahkan Buda’il kepala suku Khuza’ah untuk
menyampaikan pesan kepada kafir Quraisy bahwa kedatangan meraka murni untuk
melaksnakan ibadah haji dengan damai.setelah mengirim pesan tersebut rombongan
Nabi Muhammad SAW berhenti di daerah Hubaidiyah dan melakukan perjanjian dengan
kaum Quraisy yang dikenal dengan perjanjian Hubaidiyah.[11]
Pokok isi perjanjian tersebut yaitu:
- Nabi Muhammad dan pengikutnya harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji, dan tahun depan mereka boleh melaksanakan ibdah haji dalamjangka waktu tiga hari.
- Kedua belah pihak tidak boleh menyerang selama sepuluh tahun.
- Siapa saja dari kedua belah pihak untuk bergaung dengan salah satu pihak maka diperkenankan.
- Siapa saja yang datang kepada Nabi Muhammad SAW tanpa walinya maka harus di kembalikan dan barang siapa yang datang ke pihak Quraisy maka tidak akan dikembalikan.[12]
Sekilas dari perjanjian tersebut telah memberikan kelemahan agi kaum
Muslim, dan menjadi pertentangan diantara para sahabat. Namun terdapat beberapa
keuntungan dari perjanjian Hubaidiyah, yaitu:
1.
Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Suhail bin amr
sebagai perwakilan dari kaum Quraisy. Suku Quraisy merupakan suku terhormat di
Arab dan siapapun akan menerima yang dilakukannya. Dengan perjanjian ini Madinah mempunyai otoritas sendiri, setelah
suku Quraisy menyetujuinya maka suku-suku lain akan mengikutinya.
2.
Dengan perjanjian ini Madinah mempunyai otoritas dalam
memberikan hukuman kepada suku Quraisy yang melakukan pelanggaran terhadap
perjanjian.
3.
Perjanjian terseut menjadi legalitas bagi perjalanan
dakwah umat Islam dalam menegakan syariat Islam.
4.
Membuka keran dukungan bagi kabilah-kabilah lain untuk
bergabung bersama kaum muslim karena menganggap suku Quraisy sudah bergabung.
5.
Pengamilann keputusan Nai Muhammad SAW menunjukan kepada
kepentingan kemaslahatan bannyak orang.[13]
Pasca perjanjian tersebut kaum muslimin jumlahnya jauh lebih banyak
daripada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hubbaidiyah sekitar 1400
orang meningkat menjadi 10.000 orang dua tahun setelahnya ketika peristiwa
Fathul Mekkah. Fathul Mekkah sendiri terjadi karena Kaum Quraisy melanggar
Perjanjian Hubaidiyah. Setelah peristiwa tersebut Abu Bakar berkomentar“.[14]
Dengan adanya perjanjian tersebut Madinah telah menjadi daulah yang mempunyai
kekuasaan mandiri. Terbukti dengan hubungan diplomasi yang dilaksanakan Nai
Muhammad SAW dengan berbagai pemimpin tetangga seperti Mesir, Persia, Romawi,
Habsyah dan ekspansinya ke berbbagai penjuru dunia.[15]
[2]
Fadil
SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejara, (Yogyakarta :
UIN-Malang Pres, 2008), hlm.102-103
[3] Tamim
Ansary, Destiny Distrupted : Ahistory of The World Through Islamic Eyes.
Terj dari Sejarah Dunia Versi Islam oleh Yuliani Liputo. (Jakarta : Zaman,
2009). H 58
[4]
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban
Islam dalam Lintasan Sejarah, h 102-103
[5]
A.
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h 50
[6]
Tamim Ansary, Destiny Distrupted
: A history of The World Through Islamic Eyes. Terj dari Sejarah Dunia Versi
Islam oleh Yuliani Liputo.. H 59
[7]
Ibid, H 60
[8]
M Husaiyn Hykel, The Life of
Mohammad, hal 180-181. Dalam Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai
Pemimpin Militer, terj. Jakarta: Amzah, 2006 h 271-273
[9]
Tamim Ansary, Destiny Distrupted
: A history of The World Through Islamic Eyes. Terj dari Sejarah Dunia Versi
Islam oleh Yuliani Liputo. H 64
[10]
ibid H 65-68
[11]
Ali Geno Berutu, Strategi Politik
Nai Muhammmad dalam Perjanjian Huaidiyah, e-journal, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2014. H 4-6
[12]
Ibid, H 6-7
[14]
Geno, Strategi Politik Nai Muhammmad
dalam Perjanjian Huaidiyah. H 13
[15]
Ibid. H 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar