Minggu, 26 November 2017

Politik Islam di Era Orde Lama



Politik Islam di Era Orde Lama (1959-1966)
Jafar Sidik (11140150000080)
Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya era baru politik Indonesia yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan dekrit, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respont yang beragam dari kalangan partai Islam. Ahmad Syafi’i Maarif membagi era Demokrasi Terpimpin yang berumur hingga September 1965 ini menjadi periode proses kristalisasi (hingga Desember 1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan salah satu pilar penyangganya.[1]
Pada masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960. Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menjelaskan butir-butir pokok Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori :
  1. Orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan Negara.
  2. Tiap-tiap orang mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan Negara. Dua kategori ini menjelaskan sasaran yang hendak dicapai oleh sistem itu.[2]
  1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.[3] Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.[4]
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.[5]
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.
Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.[6] Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.
Demokrasi Terpimpin pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.[7] Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.[8]
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.[9]
2.      Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah suatu kenyataan politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat Islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini. Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam Indonesia.
Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas. Menurut kategori Sukarno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“ atau dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon yang juga popular dalam kamus politik Soekarno. Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama masyumi, tidaklah hidup pada masa Demokrasi Terpimpin.[10]
Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya.
Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi Terpimpin dan ingin mewarnai peta percaturan politik   berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan Islam dalam tataran politik dan mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat berpengaruh.
Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali. Antara keduannya seakan-akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.[11]

3.      GERAKAN DAN PEMIKIRAN POLITIK DARUL ISLAM
Terlepas dari legal dan tidaknya gerakan politik Darul Islam atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewirjo, bangsa Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaannya pernah menyaksikan tarik-menarik tentang ideologi Negara. S.M. Kartosoewirjo melalui DI/TII-nya menghendaki Islam sebagai ideologi dan agama resmi Negara. Namun, di pihak lain, tokoh-tokoh bangsa ini yang umumnya nasionalis menghendaki pancasila sebagai ideologi Negara karena dipandang dapat lebih menjamin keberadaan penganut agama selain Islam di Negara ini.[12]
Gerakan Darul Islam yang popular dengan gerakan DI/TII, merupakan gerakan politik keagamaan yang dipimpin oleh Kartosoewiryo. Gerakan ini merupakan aksi nyata dari prinsip dan sikap politik Islamnya, yakni hijrah. Sikap politik hijrah yang ia pahami harus diwujudkan melalui perjuangan dan gerakan politik. Dalam perjuangan politiknya itu, Negara Islam Indonesia harus tetap berpegang pada dua akidah politik, yakni ideologi atau cita-cita dan realita. Yang pertama menjadi tujuan dari semua perjuangan politik, sedangkan yang kedua merupakan sejumlah kekuatan jiwa, harta kecakapan, kepandaian dan lain-lain dalam rangka mencapai ideology atau cita-cita politiknya.
Ketika meletusnya pemberontakan DI/TII ini pembeda utamanya adalah soal keabsahan Republik Indonesia. Gerakan DI/TII muncul justru memperjuangkan semua aspirasi umat Islam. Sebab, menurut Kartosoewirjo, aspirasi umat Islam dapat diterjemahkan sebagai berikut
  1. Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasar Islam.
  2. Pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum-hukum syara’ agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya.
  3. Setiap umat Islam harus memperoleh kesempatan dan lapangan usaha untuk melakukan kewajibannya, baik yang menyangkut aspek duniawi maupun ukhrawi.
  4. Umat Islam harus terlepas dari segala bentuk perhambaan.
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa cita-cita umat Islam (ideologi Islam), yakni ingin membangun dunia Baru atau Dunia Islam atau dengan kata lain Dar Al-Islam dalam rangka memperoleh Mardhatillah dan Rahmatillah. Dalam tertib politiknya, ada dua penyangga dalam ideologi Negara Islam Indonesia. Pertama, semua kedaulatan berada di tangan Allah. Kedua, pandangan korporatif tentang masyarakat yang di dalamnya terdapat kelompok berbeda yang secara adil mempunyai hak dan tanggung jawab yang tidak sama rata dan tunduk pada kewajiban-kewajiban hukum yang sangat berbeda.[13]
Pada akhirnya, sejarah bangsa ini mencatat dan menepatkan DI/TII sebagai gerakan politik Islam sempalan yang merongrong keutuhan Republik ini, sehingga atas nama keutuhan bangsa dan Negara, DI/TII ditumpas habis oleh rezim Soekarno dan disapu bersih oleh rezim Soeharto.
5.      Aspirasi dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde Lama
Dalam  periode  Orde Lama, tampaknya  peran  umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar : pertama,  peran umat  Islam  yang  bersikap  kritis  kepada  negara  yang diwakili  oleh  Masyumi;  kedua, peran  umat  Islam  yang bersikap akomodatif kepada negara yang diwakili oleh  NU; ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran  (di luar pagar sampai memberontak) yang diwakili oleh gerakan DI/TII. Sehingga  dalam  posisi  ini Douglas   Ramage, memberikan  makna  yang  khas,  bahwa  Umat  Islam  lebih disosokkan  sebagai  ancaman. Dalam  pandangannya,  Islam pernah ditempatkan sebagai kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.[14]
Umat Islam membentuk Kogalam  (Komando Kesiapsiagaan Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan Negara komunis.  Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan Negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia.  Dengan adanya  Ketetapan MPRS No. XXV/ 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orderbownya dibubarkan, ajaran Komunisme -Marxistme dilarang untuk seluruh Indonesia.[15]








DAFTAR PUSTAKA

Darban, Ahmad Adaby, Peran Serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia. Yogyakarta: UII. 1989.
Ghazali, Adeng Muchtar. Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah. Cet.1. Bandung : Pustaka Setia, 2004.
Lihat dalam Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and  The Ideology of Tolerance, London, Routledge, 1995.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negaraa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.
Maarif,  Ahmad Syafi’i. Islam dan Masyarakat Kenegaraan. Jakarta : LP3ES, 1985.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta : PT Pustaka Parama Abiwara, 1988.
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer). Cet. I. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994.



[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), Hlm. 267-268.
[2] Adang Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2004). Hlm. 123.
[3] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, (Jakarta : LP3ES, 1985), Hlm. 115.
[4] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1960), (Yogyakarta : PT Pustaka Parama Abiwara, 1988), Hlm. 38.
[5] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, Hlm. 38-40.
[6] Ibid, Hlm. 178.
[7] Ibid, Hlm. 183-186.
[8] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994), Hlm. 403-404.
[9] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, Hlm. 406.
[10] Ahmad Syafi’ie Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasa Negara, Hal 190.
[11] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Hlm. 270-271.
[12] Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanaan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2004). Hlm. 70.
[13] Ibid, Hlm. 101.
[14] Lihat dalam Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and  The Ideology of Tolerance, London, Routledge, 1995.
[15] Ahmad Adaby Darban, Peran Serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia. Yogyakarta : UII, 1989.

Jumat, 24 November 2017

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KARTOSOEWIRJO DAN M. NATSIR



PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KARTOSOEWIRJO DAN M. NATSIR
Ja’far Sidik (11140150000080)

A.     S.M Kertosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo demikian nama lengkap S.M. Kartosowirjo, yang dilahirkan pada tangga; 7 Januari 1905 di Cepu, sebuah kota antra Biora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik. Untuk memahami dalam konnteks yang bagaimana ia lahir dan tumbuh besar, kita perlu melihat bagaimana setting sejarah Indonesia di awal abad ke 20 ini. Mungkin gaya pendekatan sejarah alternatif akan cocok untuk memahamai sosok Kartosoewirjo sebernanya. Pada awal abad ini dimulai suatu perubahan besar Hindia Belanda (nama Indonesia ketika itu). Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhemina di depan parlemen yang angota – anggotanya ketika itu baru terpilih, mengumumkan sebuah kebijakan progam. Pemerintah Belanda tentang negeri jajahan yang nantinya akan berperngaruh besar terhadap perkembangan situasu dan kondisi Indonesia selanjutnya.
Ketika pemerintah Kerajaan Belanda Sanngat menyadari betul bahwa di masa lalu sudah banyak perusahaan milik orang – orang belanda dalam menjalankan roda perekonomiannya telah memperoleh keuntungan materi yang berlimpah ruah dari Hindia Belanda, sementara itu mereka melihat banyak sekali dari penduduk di tanah jajahan Hindia Belanda mengalami dampak eksploitasi ekonomi besar - besaran tersebut berupa kemiskinan di mana – mana. Pemerintah Hindia belanda mencoba perlahan demi perlahan golongan atas untuk mengikuti sekolah – sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah “Maka enlightened elit modern colonial mulai terbentuk di Indonesia generasi pertamanya.
Begitulah Kartosoewirjo dia lahir dalam situasi yang sedemikan menguntungkan sehingg karena kedudukan “Istimewa” orang tuanya, ia termasuk dlam salah seorang anak – anak negeri ini yang berkesempatan mengecap pendidikan modern colonial Belanda yang sangat maju di zamannya. Maka, Belanda tidak hanya menggunakan kekeuatan senjata untuk “menjinakan”. Indonesia. Selama ini tentara marsose sering sekali dipakai sebagai kekekuatan represif yang ampuh untuk menentramkan Indonesia
Politik etis telah memberikan perhatian yang cukup besar pada pendidikan barat bagi penduduk Indonesia, dengan di bangunnya sejumlah sarana pendidikan di beberapa tempat. Namun sayangnya kebanyakan dari sekolah – sekolh ini menggunakan bahada daerah sebagai bahasa pengantarnya, sedikir sekali sekolah – sekolah teesebut yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, kalau pun ada itu pun yang prestigious, yang para tamatannya kemudian mendapat pekerjaan orang yang berdasi (white collar jobs), yang memeang banyak dicari atau meneruskan pelajarannya ke perguruan tinggi di daerah jajahan atau pun di negeri Belanda.
Organisasi islam modern Muhammadiyah merupkan organisasi paling penting di Indonesia ketika iku. Berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912. Didirikan oleh Kiai Hadji Ahmad Dahlan (1868 – 1923) yang berasal dari elite agama kesultanan Yogyakarta. Ahmad dahlan ini dasarnya adalah seorang tokoh aristocrat, namun karena keberpihakannya pada rakyat Muslim menjadikan ia dikenal sebagai tokoh populis, selain itu, sesuai dengan semanagta pada masa itu, ia juga adalah seorangpeletak dasar pendidikan islam modern.
Bersamaan dengan itu, lingkungan polirik berbalik arus menentang radikalisme, tetapi ironisnya keadaan ini malah ISDV (Indische Social – Democratische Vereniging) dalam posisi untuk memimpin gerakan politik rakyat. ISDV saat itu berada di tangan Semaun dan seorang pemuda bangsawan Jawa yang bernama Darsono ( Lahir tahun 1897). Pada awal perjalanannya, dengan jumalah anggotanya hanya 269 orang pada tahun 1920, organisasi ini memang masih sangat kecil dan juga sangat terbatas, tetapi kemudian sebagian besar anggotanya adlah orang Indonesia. Maka organisasi ini menjadi organisasi pribumi yang merauo banyak pengikut, inilah cikal – bakal organisasi yang menggoroti islam secara sanagat kejam hingga ke PKI dan gerak – gerakan kiri lainnyanya di era reformasi sekarang ini. Pada bulan Mei 1920 organisasi ini mengalami pergantian nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI)
Untuk melihat kondisi Islam Indonesia pada masa – masa awal sebelum the for mative age yang dialami Kartosoewirjo, kita harus melihat Islam yang mulai berubah pada tingkat dunia. Menjelang tahun 1925, di dunia internasional islam mengalami sebuah perubahan besar. ketika pada tahun 1924 negara turki telah menghapus jabatan khalifah, pemimpin agama semua kaum Muslim, yang telah dituntut sebagai haknya oleh sultan – sultan Usmani selama sekitar enam dasawarsa. Maka dunia islam kehilangan kekhalifahannya, dan ketika S. M. kartosowirjo memproklamsikan Darul Ismam, maka itulah lanjutanyya. Mesir bermaksud menyelenggarakan suatu konferensi islam internasional guna membahas masalah kekhalifahan tersebut. Perpecahan ini tidah hanya memperlihat betapa berbariannya para penguasa – penguasa negeri yang dulunya pernah menjadi islam. Akan tetapi, terjadi kekacauan lagi ketika pada tahun 1924 Ibn Sa’ud merebu Makkah,dan menyebarkan ide – ide pembaharuan Wahabi serta menyatakan bahwa dirinya adalah kalifah. Dia juga menghimbau seluruh kaum Muslim supaya menghadiri konferensi konfernsi tersebut, tetapi wakil – wakilnya sebagian besar berasal dari kalangan Islam Modernis, dan ketika itu tokoh tjokorominoto sangat menunjol dalam konferensi tersebut. Di Timur Tengah sedang terjadi kemrosotan Islam, maka di Nusantara islam mengalami titik awal kebangkitan yang baru terlihat seperti seberkas lampu kecil.
Sinar lampu islam juga terlihat dengan bangkitnya umat Islam melalui pergerakan – pergerakan yang mewarnai gerakan – gerakan lainnya. Muhamdiyah, SI,NU, Al – Irsyad dan lain – lain bermunculan.. namun tak lama kemudian mengalami kekurangan darah semangat kembali. Seiring dengan telah wafatnya Ahmad Dahlan sebagai orang nomor satu di muhammadiyah, organisasi ini mengalami penyusutan anggota dengan hanya beranggotakan 4.000 orang saja pada tahun 1925, tetapi organisasi ini telah mendirikan lima puluh lima sekolah dengan 4.000 orang murid, dua balai pengobtan di Yogyakarta dan Surabay, sebuah panti asuhan, dan sebuah rumah miskin.
Demikianlah sekilas setting sejarah yag mengitari saat – saat S.M. Kartosoewirjo lahir. Ia lahir dan mengalami masa – masa kecilnya pada saat gerakan – gerakan Islam mengalami pasang – naik dan pasang surut secara bersamaan. Maka orang tuanya bukanlah orang yang dikenal fanatic atau anti islam ; melainkan orang tua yang bias – biasa saja, yang menyerahkan anaknya pada perputaran zaman. Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantra yang bekerja pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan dekat Rembang.
Dua aliran yang bertentangan telah muncul sebagai dasar bagi dilakukannya peremajaan secara nasional, dan kini ditambah aliran pemikiran yang ketiga. Aliran kalangan atas yang mencari modernisasi secara barat (dan setidak – tidaknya mempunyai unsure – unsure anti Islam). Ketika lahirnya Boedi Oetomo, Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik Boedi Oetomo sebagao keberhasilan Politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya : suatu organisasi pribumi yang progresif – moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat – pejabat Belanda lainnya mencurigai Boedi Oetomo dan menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersbut dinyatakan sebagai organisasi yang sah.
Dalam masyarakat Jawa, kelompok minoritas yang berusaha benar – benar mentaati kewajiban – kewajiban Islam dalam kehidupan sehari – hari mereka di sebut silih bergant wong Muslimin (kaum Muslim), Putihan (golongan putih), atau santri (murid sekolah agama). Ada dua kelompok yang dapat dibedakan dalam golongan masyarakat ini : kaum muslim pedesaan yang mengelompok di sekeliling para guru agama Islam (kiai) dan sekolah – sekolah agama merka (pesantren, tempat para santri) dan,di lain pihak kelompok – kelompok Muslim perkotaan yang sering kali melibatkan diri di bidang perdagangan.
Maka pada tahun 1911, saat para kativis ramai – ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia delapan tahun dan masuk sekolah ISTK  (Inlandsce Schoool der Tweede Klasse). Ketika Kartosoewirjo mulai memasuki pintu gerbang kedewasaan, ia mulai berkenalan dengan organisasi islam modern yang lebih jelas garis politiknya ketimbang Muhammdiyah yautu sjarikat Islam. Pada tahun 1912 organisasi SDI merubah namanya menjadi Sjariat Islam (SI). Ketika itu terjadi percekcokan antara Tirtodisoerjo dan Samanhudi, Sehingga Samanhoedi yang yang sebagian besar waktunya tersita untuk urusan – urusan dgang, memeinta bantua Tjokominoto untuk memimpin organisasi itu. Asal – usul organisasi yang bersifat Islam dan dagang segera menjadi kaburm, dan istilah Islam pada namanya kini sedikit banyak lebih mencerminkan adanya kesadaraan umum bahwa anggota – anggotanya yang berkebangsaan Indonesia adalah kaum muslim, sedangkan orang – orang Cina dan Belanda bukan muslim.
Basis Politik Pemikiran Islamic Nation – State S. M Kartosoewirjo
Pemikiran S. M Kartosoewirjo tentang Negara Islam didasarkan pada proses mula terbentuknya masyarakat islam pada masa Rasulullah SAW di awal abad pertama Hijriyah. Pada saat itu , keragaman etnis, budaya, agama dan bahasa sangat beragam sama seperti ketika Indonesia memuulai revolusi ontegratifnya pada pertengahan paruh tahun 1945. Pada tanggal 7 Agustus 1945 beberapa anggota kepanitian PPKI dari pihak Jepang “mengambil keputusan – keputusan yang riil” untuk mmengadakna pertemuan. Bangsa ini memang dibangun oleh serangkaiaan perjanjian – perjanjian, pertemuan – pertemuan dan perundingan – perundingan. Semua itu tidak satu pun yang ditepatinya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi pihak lain. Tekanan terhadap Jepanh  juga diberikan Uni Soviet yang mengumuman perang bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang telah me-luluh-lantakan semangat bushido tentara Jepang di Indonesia.
Jepang adalah penguasa yang masih sah di Indonesia. Pantaslah Jika Kemudian Maeda ingin melihat pengalihan kekeuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatur terhadap kelompok – kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupun pasukan – pasukan jepang yang kehilangan semangat. Pasukan Jepang demikian terpuruknya setelah Raja Hirohito mengumumkan “menyerah tanpa syarat” kepada tentara sekutu. Para pemimpimn pemuda menginginan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan dlam hal ini mereka didukung oelh Sjarir yang anti Jepang. Akan tetapi, tak seorang pun berani bergerak tanpa soekarno dan Hatta. Soekarno dan Hatta telah menjadi mitos yang mentyejarah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tak semua orang Indonesia tahu tentang siapa sebenernya Soekarno dan Hatta itu.
Sebenarnya sebelum hari – hari menjelang Proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945. Kartosoewirjo telah lebih dulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam, ketika kedatangannya pada awal bulan agustus setelah mengetahui bahwa perseturuan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi boomerang bagi Jepang. Ia datang ke Jarta bersama dengan bersama dengan beberapa orang pasukan Laskar Hizbullah, proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosoewirjo pada tanggal 13 dan 14 agaustus 1945 kepada mereka ? pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, soekarni dan Ahmad Soebardjo, ke ganisun PETA di rengasdengklok, sebuah kota kecil di karawang. Mereka mempersiapkan naskah proklamasi hanya berdasarkan ingatan tentang konsep Proklamasi Islam yang dipersiapkan S.M. Kartosoewirjo, buakn pada konsep pembukaan UUD 1945 yang di buat oleh BUPKI atay PPKI. Pada malam itu Soekarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta.pernyataan kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis muda mengingnkan bahasa yang dramatis dan berapi – api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang atau mendorong terjadinya kekerasan maka disetejuilah suatu pernyataan yang tenang dan bersahaja yang dirancang oleh Soekarno[9].
Pada bulam Juni 1946, Masyumi Daerah Priangan mengadakan konferensi di kota Garut, untukk memeilih pengurus yang baru. Dalam konferensi tersebut Koertooewirjo menunjuk K.H. Moechtar sebagai ketua umum dan dia sendiri menjadi wakil ketua. Dalam konferensi tersebut kartosoewirjo menyampaikan pidato tentang haluan politik Islam yang berisi pertanyaan mengenai siapa yang akan berkuasa di Indonesia. Dengan memahamkan dirinya kepada ajaran Islam yang hanif, Kartosoewirjo menganjurkan persatan dalam cita – cita perjuangan. Ia memperingatkan para pendengarannya yang sekaligus merupakan pendukungnya, bahwa konflik antara sesame bangsa Indonesia hanyalah menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaan – perbedaan ideology. Segera setelah tercapai kemerdekaan penuh, perbedaan – perbedaan ini dapat dicari penyelesaianya secara demokratis, menurut kedaulatan rakyat. Bunyi pidatonya :
        Dan oleh karena Repoeblik Indonesia berdasarkan kedaoelatan ra’iat, maka seorang ra’iat jang tebanjak itoelah jang akan memegang kekoesaan negara. Djika komoenis jang dikoeti oleh sebagian bessar dari pada ra’iat, maka pemerintah negara akan mengikoeti haloean politik, sepandjang adjaran komoenis. Dan bila sosialisme atau nasionalisme politik negara. Demikian poela, djika Islam jang mendapat koernia Toeha “menang dalam perjoengan politik” itoe, maka Islam Poelalah jang akan memegang tampoek Pemerintah Negara. Sehingga pada waktoe itoe terbangoenlah doenia Islam atau Daroel – Islam, Jang tindak menjimpang seramboet dibelah toejoeh sekalipoen dari pada adjaran – adjaran Kitabuoellah dan Soennahtoen – Nabi Moehammad Clm
Pada bulan Febuari dan Maret 1947 di Malang, Kartosoewirjo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota masyumi dalam komite eskekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti siding KNIP (Komitre Nasional Indonesia Pusat). Dalam oleh pemerintah Republik dan belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak. Kepergian Kertosoewirjo disertai para pejuang Hizbullah Jawa Barat,karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung antara lascar sayap kiri (diwakili partai Pesindo), yang menginginkan disetujui hasil perundingan tersebut dengan lascar Hizbullah (diwakili partai masyumi dan PNI), yang hamper semua wakilnya tidak menyetui hasil perundingan. Kartosewirjo sendiri termasuk politikus Masyumi yang menolak persetujuan Linggarjati tersebut tanpa kompromi. Karena Nampak jelas, bahwa dengan diadakannya perundingan Linggarjati itu sangat menguntungkan pihak Belanda dalam usahannya menancapkan kuku penjajahannya kembali.
Pada tanggal 21 Juni 1947, Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahir bingung dan puus asa, maka pada bulan Juli 1947 dia dengan terpaksa dan bercampur malu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri, karena sebelumnya dia sanagt menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda, setelah terjadinya Agresi Militer I Belanda pada bulan Juli. Yang menggantikan kedudukan setelah pengunduran dirinya adalah Amir Syarifoedin yang sebelumnya menjabat sebagai menteri, dia menggaet anggota PSII untuk duduk dalam kabinetnya, termasuk menawarkan kepada Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi wakil menteri pertahankan kedua.
Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam mulailah pihak Belanda melancarkan. ‘aksi polisional’ mereka yang pertama. Aksi Belanda ini sudah diperhitungkan , dimana mereka telah menempatkan pasukan – pasukanya di tempat yang strategis. Pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan ujungnya timur jawa. Gerakan – gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Pada bulan 1948 atas praaksara pihak sekutu diadakanlah satu persetujuan bersama antara pemerintah Republik dengan Belanda di atas kapal Amerika USS Renville sebagai ‘garis Van Mook’. Walaupun persetujuan ini tampaknya seperti kemenangan besar pihak Belanda dalam perundingan, namun tindakan yang dilakukan oleh pihak republic dengan mengikuti perundingan itu memperlihatkan tidak mampunya pemerintah dalam menagadakan perundingan untuk tetap mempertahankan makna kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia sehingga menyebabkan mereka memenangkan kemauan pihak Belanda yang sangan menentukan.
Pada bulan Febuari 1948 koalisi sayap kiri dibawah pimpinan Amir Sjarifoeddin yang berada di luar pemerintahan Republik kini memualai suatu usaha baru dengan menimbulkan bencana untuk mendapatkan kembali kekeuasaan. Dengan merubah nama baru menjadi Front Demokrasi Rakyar (FDR) mencela persetujuan Renville yang sebtulnya dulu dirundingkan pada masa pemerintahannya, usaha yang dilakukan oleh front tersebut adalah dengan membentuk organisasi – organisasi petani dan buruh, tetapi usaha itu hanya mencapai sedikit keberhasilan. Bagi mereka upaya diplomasi Soekarno dan teman – teman nasionalis sekuler sama sekali di luar harapan.
Sementara itu Belanda pada akhir bulan agustus meluruskan garis depanya yang disebut sebagai “garis demakrasi Van Mook”, dan telah merebut pelabuhan penting di Jawa serta daerah – daerah sumber hasil bumi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain itu mereka masih menagadakan suatu blockade ekonomi terhadap republic yang wilayahnya di Jawa hanya tinggal kira – kira sepertiga luas pulau tersebut. Pihak tentara membunuh Amir Sjarifoeddin dan lebih dari lima puluh orang beraliran kiri yang ada dipenjara ketika mereka bergerak mundur dari Yogyakarta pada tanggal 19 Desember malam dari pada mengambil resiko bahwa mereka akan dibebaskan dari Belanda. Sampai akhir bulan Desember semua kota besat di Jawa dan Sumatera telah jatuh ke tangan Belanda. Satu – satunya wilayah besar yang tetap di bawah kekuasaan Repoeblik adalah Aceh.
Situasi yang kacau pada saat itu yang diakibatkan agresi militer Belanda membuat kartosoewirjo lebih memfokuskan perjuangannnya. Dalam suatu rapat Masyumi di Garut, yang dipimpin Kartosoewirjo sendiri dan di mana semua organisasi yang bergabung dalam Masyumi harus mengirimkan wakilnya, diputuskan, bahwa Masyumi cabang Garut diganti namanya menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI). Dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville antara pemerintah Republik dangan Belanda. Adapun reaksi Kertosowirjo dengan adanya Perjanjian Renville itu membuat suatu pernyataan bahwa “ Amir Sjarifoedin la’natoellah”dituduh telah berbuat khianat dan menjual Jawa Barat kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik “soepaya Oemat Islam Khoesoesnja dan rakjat Djawa Barat Semoenja tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Segera setelah persetujuan Renville, pada tanggal 30 Januari 1948, R. Oni berangkat  ke Peuteuynunggal dekat Garut untuk berunding dengan Kartoesoewirjo tentang masalah situasi politik dan militer dewasa itu.
B.    Muhammad Natsir
Mohammad natsir yang lebih populer dengan panggilan natsir, dilahirkan di Alahan Panjang, sumatera barat pada tanggal 17 juli 1908 M adalah seorang yang sangat terkenal dengan pergerakan kemerdekaan republik indonesia. Sebagai seorang tokoh, natsir telah memberikan arti yang sangat penting dalam sejarah kemerdekaan indonesia.
Natsir berasal dari keluarga yang bersahaja, ayahnya seorang pegawai rendah sebagai juru tulis pada kantor kontroler di maninjau. Bernama muhammad idris sutan saripodo. Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung, yaitu yukinan, rubiyah, dan yohanusun.[1]
Riwayat pendidikannya dimulai dari sekolah belanda dan mempelajari agama dari para alim ulama di tempat kelahirannya itu. Setamat dari sekolah dasar ia melanjutkan studinya di sekolah partikelir HIS Adabiyah di Padang. Kemudian ia melanjutkan ke MULO di padang, setelah itu melanjutkan pendidikan formalnya ke Algememe Midelbare School (AMS) di Bandung. Sejak belajar di AMS, ia mulai tertarik pada pergerakan islam dan belajar politik di perkumpulan JIB, sebuah organisasi pemuda islam yang anggotanya adalah pelajar bumiputera yang bersekolah di sekolah belanda. Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual dari H. Agus Salim. Dalam organisasi tersebut natsir sempat bergaul dengan para tokoh nasional seperti M. Hatta, Prawoto Mangunsasmito, Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto, dan Moh. Roem. Dan berkat kemampuannya yang menonjol, mengantarkannya menduduki ketua JIB Bandung pada tahun 1928 hingga tahun 1932.[2]
Tahun 1932, natsir mendirikan lembaga pendidikan islam (pendis), suatu bentuk pendidikan modern yang mengombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. Ia menjabat sebagai direktur pendis sampai 1942. Lembaga tersebut kemudian berkembang di berbagai daerah di jawa barat dan di jakarta.
Sejak 1940 ia mulai aktif di bidang politik dengan bergabung pada partai islam indonesia (PII) Bandung, ia menjabat sebagai ketua PII Bandung pada tahun 1940 hingga tahun 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai kepala biro pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap sekretaris sekolah tinggi islam (STI) di jakarta.
Pada masa pendudukan jepang di indonesia pada tahun 1942-1945, jepang merasa merangkul umat islam, maka dibentuklah majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan organisasi politik islam. Dalam perkembangan selanjutnya majelis ini berubah menjadi mejelis syura muslimin indonesia (Masyumi) pada tanggal 7 November 1945, natsir sendiri mnjadi salah seorang ketua umumnya hingga partai tersebut dibubarkan.[3]
Setelah indonesia merdeka, natsir sempat menjadi mentri penerangan. Kiprahnya dalam dunia politik sangat memuncak, terutama saat beliau mengemukakan osi pada sidang parlemen republik indonesia serikat pada tanggal 3 April 1950, yang lebih dikenal dengan sebutan Mosi Integral Mohammad Natsir. Mosi itulah yang memungkinkan republik indonesia telah terpecah belah sebagai hasil konferensi meja bundar (KMB) menjadi tujuh belas negara bagian, kembali menjadi negara kesatuan Republik Indonesia.

Pada masa demokrasi terpimpin seokarno pada tahun 1958, natsir mengambil sikap menentang politik pemerintah. Keadaan ini mendorongnya untuk bergabung dengan para penentang lainnya dan membentuk pemerintah revolusioner republik indonesia (PRRI), suatu pemerintahan tandingan di pedalaman sumatera. Tokoh PRRI menyatakan bahwa pemerintah di bawah presiden soekarno saat itu secara garis besar telah menyeleweng dari undang-undang dasar 1945. Sebagai akibat tindakan natsir dari tokoh PRRI lainnya yang didominasi anggota masyumi ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Natsir dikirim ke batu malang (1962-1964), Syarifudin Prawiranegara dikirim ke jawa tengah, Burhanuddin berharap dikirim ke luar negeri. Partai masyumi dibubarkan melalui pidato presiden soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960. Natsir dibebaskan pada bulan juli 1966 setelah pemerintahan orde lama digantikan oleh pemerintahan orde baru.
Pada saat orde baru muncul natsir tidak mendapat tempat kedudukan di pemerintahan orde baru untuk ikut memimpin negara. Oleh karena itu pada tahun 1967, natsir beserta para ulama lainnya melalui yayasan yang dibentuknya di jakarta, yaitu dewan dakwah islamiyah indonesia (DDII) memilih dakwah sebagai format gerakannya, tidak melalui format politik. Namun demikian, ia juga tetap kritis terhadap berbagai masalah politik. Natsir wafat pada tanggal 6 februari 1993 di rumah sakit cipto mangunkusumo jakarta dalam usia 85 tahun. Natsir meninggalkan seorang istri, nur nahar yang dinikahinya pada tanggal 20 oktober 1934 di bandung dan enam orang anak serta sejumlah cucu.
Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Pendidikan Islam
Konsepsi pendidikan yan diungkapkan natsir tidak dapat dilepaskan dari misinya untuk menyebarkan agama islam, sebagai agama yang universal, islam bukan hanya sekedar ajaran tentang tata hubungan antara manusia dengan tuhan, melainkan suatu pandangan hidup dan sekaligus pagangan hidup. Ajaran islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna. Bersifat universal ini dapat dipahami bahwa islam tidak mengenal batas-batas negeri, negara dan benua. Islam bukanlah barat dan bukan pula timur tetapi adalah milik allah yang dikaruniakan kepada manusia.[4]
Demikian pula halnya dengan pendidikan. Menurut natsir pendidikan timur dan barat tidak perlu dipertentangkan. Sebagai sesuatu yang diciptakan oleh manusia sendiri yang bersifat baru, kedua sistem pendidikan mempunyai kelebihan dan kekurangan, serta kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu tidak perlu dipertentangkan dengan cara membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain.
Oleh karena itu, pendidikan yang islami adalah pendidikan yang mengambil yang baik dari manapun datangnya dan menyingkirkan yang buruk dari manapun datangnya. Pendapat ini memperkuat prinsip natsir yang menyatakan bahwa pendidikan islam bersifat universal dan sekaligus integral dan harmonis. Menurut natsir kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan islam tidaklah diukur dengan penguasaan duniawi saja, akan tetapi sampai dimana kehidupan duniawi memberikan aset kehidupan di akhirat kelak. Konsep pendidika yang integral, universal dan harmonis ini pada dasarnya merupaka konsepsi yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi empririk umat islam pada masa itu. Tujuan pendidikan tujuan utama dari pendidikan adalah ajaran tauhid, mengenal tuhan, mempercayai dan penyerahan diri kepada tuhan. Tauhid diperlukan untuk menjaga harmoni dan keseimbangan antara intelektual dan spiritual, antara jasmani dan rohani dan antara duniawi dan ukhrawi. Tauhid menurutnya merupakan dasar pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi mendatang.[5]
Dengan demikian, tujuan pendidikan merupakan tujuan hidup. Tujuan hidup seorang muslim adalah berserah diri kepada allah sebagaimana tercermin dalam al-qur’an surat al-waqiah ayat 51. Inilah tujuan yang pantas ditanamkan oleh siapapun dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak.
Natsir menjelaskan hakikat penghambaan kepada allah sebagai tujuan hidup juga menjadi tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu penghambatan yang diberikan keuntungan kepada yang disembah, tetapi penghambatan yang mendatangkan kebahagiaan kepada yang menyembah, penghambaan yang memeberikan kekuatan kepada yang mempersembahkan dirinya itu.[6]




DAFTAR PUSTAKA

Amin Husein M. Iqbal.  Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta:Kencana Prenada media Group) 2013.
Natsir, Mohammad (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah.  (Jakarta: Yayasan Idayu). 1976.
Natsir, Mohammad . Agama dan Negara dalam Perspektif Islam,. (Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). 2001.
Susanto, A, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah). 2009
Syafii, Ahmad Maarif . Islam dan Politik di Indonesia pada Demokrasi Terpimpin1959-1965. (Yogyakarta : IAIN Suka Press). 2013


[1] [1] Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976. hal., 51.  Di cantukan dalam Skirpsi USU
[2] M. Iqbal, Amin Husein N, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Kencana Prenada media Group, 2013).hal 214.
[4] Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2001), h 83
[5] Mohammad Natsir, Capita Selecta II, (Bandung: sumur t. th) h, 69
[6] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)., hal. 113