TOKOH POLITIK ISLAM KLASIK “AL-FARABI DAN AL-MAWARDI”
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan
hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah
Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman
Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.[1] Empat
belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah
Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus
berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam
sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk
dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta
menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari
mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat
dari situasi dan kondisi kita saat ini.
Pemikiran politik islam berkembang secara luas
tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah.
Di Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulullah, yang
menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok agama dan
suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para
sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam untuk mengambil
subtansi ajaran sosial dan politik.
Setelah
wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara
kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah.
Kemudian berbagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang
diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat islam.
Yang
paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin
Abi Sufyan. Perebutan kekuasaan antara keduanya melahirkan persoalan teologis
yang sangat kuat (kafir mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran yang sebelumnya
di masa Rasulullah tidak ada, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah
Waljamaah, dan Murjiah.[2]
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa
Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada
pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki
teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun
berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada
Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu,
akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem
monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu
pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah,
para ahli ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh
yang terkenal sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu[3] Al-Baqillani
(w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah
Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M),
Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun
(1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan
pemikiran-pemikiran politik di masa selanjutnya, munculnya sejumlah pemikir
politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn
Taymiyah, Ibn Khaldun, dan Syah Waliyullah al-Dahlawi[4]
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan
keemasan islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa Nabi Muhammad
Saw merupakan masa di mana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di
bawah kekuasaan islam. Pada masa
Abbasiyah, pemikiran politik islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam
seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Di bawah Dinasti
Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keemasan. Sastra, terkumpulnya Shahih
Bukhari dan Muslim, 4 imam mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali),
dan teologi merupakan bukti gemerlapnya kemajuan pengetahuan di masa Dinasti
Abbasiyah. Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah :
Al-Farabi
Bernama lengkap
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, ia juga dikenal dengan
sebutan nama Abu Nasir al-Farabi namun beliau terkenal dengan nama
Al-Farabi. Ia dilahirkan di Utrar
(Farab) pada 257 H/870 M, dan meninggal
dunia di Damaskus pada 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih
dikenal dengan nama Alpharabius. Dia adalah filsuf Islam pertama yang
berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat
politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di
dalam konteks agama-agama wahyu.[5]
Teori
pemikiran politik Al-Farabi dapat diringkas sebagai berikut :
1.
Allah SWT. menciptakan manusia sebagai makhluk
sosial.
2.
Manusia perlu hidup bermasyarakat.
3.
Manusia mempunyai perbedaan-perbedaan.
4.
Ada masyarakat sempurna besar semisal
perserikatan internasional.
5.
Masyarakat yang belum sempurna misalnya
masyarakat desa, kampong, lorong dan keluarga.
6.
Negara kota adalah kesatuan politik yang
terbaik, negara utama.
7.
Warga Negara dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
elit politik, angkatan bersenjata dan rakyat jelata.
8.
Kepala Negara harus ada lebih dahulu, baru
kemudian rakyat yang dikepalainya.
Al-Mawardi
Bernama lengkap
Abu Al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, penulis kitab Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan
Pemerintahan). dilahirkan di Basrah, Irak. Dia seorang pemikir Islam
yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar
pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.
Terbukti pada masa pemerintahan Khalifah al-Qardi (991-1031 M) dia
diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Bagdhdad.[6]
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya[7]
Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa
para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis
besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran
ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran
mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam
pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu
sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan.
Teori
pemikiran politik Al-Mawardi dapat
diringkas sebagai berikut:
1.
Manusia secara syahsiyah adalah berbeda,
tetapi saling membutuhkan.
2.
Negara harus ditopang oleh enam hal yaitu al-Diinu
al-Muttaba’ (agama yang dihayati), Sulthaanun Qaahirun (penguasa
yang berwibawa), ‘Adlun Syaamilun (keadilan yang merata), Amnun
‘Aamun (keamanan yang mumpuni), Hashbun daaimun (kelestarian
kesuburan tanah).
3.
Iman, raja atau sultan merangkap jabatan agama
dan politik, Al-Imaamah maudhu’ah Likhilaafati an-nubuwwati Fii hiraasati
al-Dini wasiyaasati al-dunya, (kepemimpinan dimaksudkan untuk menggantikan
fungsi kenabian dalam menjaga agama dan siasat dunia) (Al-Mawardi, 130 H;4).
4.
Sistem kerajaan turun temurun merupakan system
ideal dengan dua macam wazir, yaitu wazir tafwidh yang memiliki
kewenangan menggariskan kebijakan dan wazir
tanfidz yang sekedar pelaksanaan kebijakan.
5.
Seleksi Imam harus dilaksanakan oleh ahlu
al-ikhtiyaar yang adil dan berwawasan luas.
6.
Hak mengisi jabatan adalah ahlu al-imaamah yang
memiliki sifat tujuh yaitu, adil, ahli ijtihad, sehat inderanya, utuh anggota
badannya, berwawasan luas, berani dan kekuasaan Quraisy.
7.
Pemilihan bisa melalui bisa melalui ahlu
al-halli wa al-‘aqdi atau wasiat dari pendahulunya.
8.
Imam dapat dijatuhkan jika menyimpang.
9.
Hubungan antara ahlu al-halli wa al-‘aqdi dengan
iman bersifat kontrak sosial atas dasar suka rela yang melahirankan kewajiban
dan hak timbale balik. Teori kontrak sosial ini kemudian berkembang di dunia
Barat dan Timur.
Melihat dari penjabaran yang telah disebutkan
diatas mengenai beberapa pemikiran-pemikiran para pakar, dalam literature
dikatakan, adanya sebuah realita bahwa tiap tokoh tersebut tidak memberikan
penjabaran yang eksplisit mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberentian
seorang kepala negara. Dan menjadi sebuah pertanyaan, adakah pemikir Islam yang
nantinya berani menggagas secara gambling mengenai mekanisme baku bernegara
dalam Islam, sehingga pengharapan dengan adanya penyeragamana umat Islam dalam
bermasyarakat terwujud.
Tidak ada pengklasifikasian yang jelas mengenai
karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat
para tokoh tersebut.[8]
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari
alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh itu tidak sama
antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang
kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain,
namun dalam pola piker para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari
aqidah Islam, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh
dari aqidah Islam, seperti Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara
bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu
komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia
diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.
Daftar Pustaka
Al-Usairy,
Ahmad. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX . (Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana. 2003.
Azra, Azyurmadi . Pergolakan Plitik Islam:
Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina). 1996.
Hamzah, Muchotob. Menjadi Politisi Islami (FIKIH POLITIK). (Yogyakarta:GAMA
MEDIA). 2004.
Iqbal,
Muhammad. dan Amin Husein Nasution. Pemikiran
Politik Islam: dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta:
Kencana). 2010.
Pulungan, J. Suyuthi . Fiqh Siyasah: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada). 1993.
Syadzali, Munawir . Islam dan Tata Negara,
(Jakarta: IU Press). 1990.
Sjadzali,
Munawir . Islam dan Tata Negata, (Jakarta: UI Press).1993.
Syarif, Mujbar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam .(Jakarta:
Erlangga). 2007).
Zar, H. Sirajuddin . “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2004.
[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga
Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 26. Nabi Ibrahim hidup
antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria.
[2] Ibid.,
26-27
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 216-217. Pada buku ini
dalam catatan kaki terdapat juga nama lengkap dari masing-masing tokoh.
[4]
Mujbar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh
Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Erlangga,2007), hal
26-28
[5]
H. Sirajuddin Zar, 2004. “Filsafat Islam”.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[6]
Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs. H. Amin Husein Nasution, M.A. Pemikiran Politik Islam: dari masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal 16
[7] Azyurmadi Azra, Pergolakan Plitik Islam: Dari
Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
4
[8] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press,
1990) Cet-V. h. 60
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan
hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah
Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman
Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.[1] Empat
belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah
Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus
berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam
sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk
dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta
menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari
mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat
dari situasi dan kondisi kita saat ini.
Pemikiran politik islam berkembang secara luas
tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah.
Di Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulullah, yang
menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok agama dan
suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para
sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam untuk mengambil
subtansi ajaran sosial dan politik.
Setelah
wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara
kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah.
Kemudian berbagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang
diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat islam.
Yang
paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin
Abi Sufyan. Perebutan kekuasaan antara keduanya melahirkan persoalan teologis
yang sangat kuat (kafir mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran yang sebelumnya
di masa Rasulullah tidak ada, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah
Waljamaah, dan Murjiah.[2]
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa
Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada
pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki
teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun
berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada
Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu,
akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem
monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu
pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah,
para ahli ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh
yang terkenal sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu[3] Al-Baqillani
(w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah
Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M),
Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun
(1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan
pemikiran-pemikiran politik di masa selanjutnya, munculnya sejumlah pemikir
politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn
Taymiyah, Ibn Khaldun, dan Syah Waliyullah al-Dahlawi[4]
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan
keemasan islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa Nabi Muhammad
Saw merupakan masa di mana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di
bawah kekuasaan islam. Pada masa
Abbasiyah, pemikiran politik islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam
seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Di bawah Dinasti
Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keemasan. Sastra, terkumpulnya Shahih
Bukhari dan Muslim, 4 imam mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali),
dan teologi merupakan bukti gemerlapnya kemajuan pengetahuan di masa Dinasti
Abbasiyah. Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah :
Al-Farabi
Bernama lengkap
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, ia juga dikenal dengan
sebutan nama Abu Nasir al-Farabi namun beliau terkenal dengan nama
Al-Farabi. Ia dilahirkan di Utrar
(Farab) pada 257 H/870 M, dan meninggal
dunia di Damaskus pada 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih
dikenal dengan nama Alpharabius. Dia adalah filsuf Islam pertama yang
berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat
politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di
dalam konteks agama-agama wahyu.[5]
Teori
pemikiran politik Al-Farabi dapat diringkas sebagai berikut :
1.
Allah SWT. menciptakan manusia sebagai makhluk
sosial.
2.
Manusia perlu hidup bermasyarakat.
3.
Manusia mempunyai perbedaan-perbedaan.
4.
Ada masyarakat sempurna besar semisal
perserikatan internasional.
5.
Masyarakat yang belum sempurna misalnya
masyarakat desa, kampong, lorong dan keluarga.
6.
Negara kota adalah kesatuan politik yang
terbaik, negara utama.
7.
Warga Negara dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
elit politik, angkatan bersenjata dan rakyat jelata.
8.
Kepala Negara harus ada lebih dahulu, baru
kemudian rakyat yang dikepalainya.
Al-Mawardi
Bernama lengkap
Abu Al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, penulis kitab Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan
Pemerintahan). dilahirkan di Basrah, Irak. Dia seorang pemikir Islam
yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar
pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.
Terbukti pada masa pemerintahan Khalifah al-Qardi (991-1031 M) dia
diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Bagdhdad.[6]
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya[7]
Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa
para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis
besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran
ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran
mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam
pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu
sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan.
Teori
pemikiran politik Al-Mawardi dapat
diringkas sebagai berikut:
1.
Manusia secara syahsiyah adalah berbeda,
tetapi saling membutuhkan.
2.
Negara harus ditopang oleh enam hal yaitu al-Diinu
al-Muttaba’ (agama yang dihayati), Sulthaanun Qaahirun (penguasa
yang berwibawa), ‘Adlun Syaamilun (keadilan yang merata), Amnun
‘Aamun (keamanan yang mumpuni), Hashbun daaimun (kelestarian
kesuburan tanah).
3.
Iman, raja atau sultan merangkap jabatan agama
dan politik, Al-Imaamah maudhu’ah Likhilaafati an-nubuwwati Fii hiraasati
al-Dini wasiyaasati al-dunya, (kepemimpinan dimaksudkan untuk menggantikan
fungsi kenabian dalam menjaga agama dan siasat dunia) (Al-Mawardi, 130 H;4).
4.
Sistem kerajaan turun temurun merupakan system
ideal dengan dua macam wazir, yaitu wazir tafwidh yang memiliki
kewenangan menggariskan kebijakan dan wazir
tanfidz yang sekedar pelaksanaan kebijakan.
5.
Seleksi Imam harus dilaksanakan oleh ahlu
al-ikhtiyaar yang adil dan berwawasan luas.
6.
Hak mengisi jabatan adalah ahlu al-imaamah yang
memiliki sifat tujuh yaitu, adil, ahli ijtihad, sehat inderanya, utuh anggota
badannya, berwawasan luas, berani dan kekuasaan Quraisy.
7.
Pemilihan bisa melalui bisa melalui ahlu
al-halli wa al-‘aqdi atau wasiat dari pendahulunya.
8.
Imam dapat dijatuhkan jika menyimpang.
9.
Hubungan antara ahlu al-halli wa al-‘aqdi dengan
iman bersifat kontrak sosial atas dasar suka rela yang melahirankan kewajiban
dan hak timbale balik. Teori kontrak sosial ini kemudian berkembang di dunia
Barat dan Timur.
Melihat dari penjabaran yang telah disebutkan
diatas mengenai beberapa pemikiran-pemikiran para pakar, dalam literature
dikatakan, adanya sebuah realita bahwa tiap tokoh tersebut tidak memberikan
penjabaran yang eksplisit mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberentian
seorang kepala negara. Dan menjadi sebuah pertanyaan, adakah pemikir Islam yang
nantinya berani menggagas secara gambling mengenai mekanisme baku bernegara
dalam Islam, sehingga pengharapan dengan adanya penyeragamana umat Islam dalam
bermasyarakat terwujud.
Tidak ada pengklasifikasian yang jelas mengenai
karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat
para tokoh tersebut.[8]
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari
alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh itu tidak sama
antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang
kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain,
namun dalam pola piker para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari
aqidah Islam, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh
dari aqidah Islam, seperti Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara
bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu
komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia
diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.
Daftar Pustaka
Al-Usairy,
Ahmad. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX . (Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana. 2003.
Azra, Azyurmadi . Pergolakan Plitik Islam:
Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina). 1996.
Hamzah, Muchotob. Menjadi Politisi Islami (FIKIH POLITIK). (Yogyakarta:GAMA
MEDIA). 2004.
Iqbal,
Muhammad. dan Amin Husein Nasution. Pemikiran
Politik Islam: dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta:
Kencana). 2010.
Pulungan, J. Suyuthi . Fiqh Siyasah: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada). 1993.
Syadzali, Munawir . Islam dan Tata Negara,
(Jakarta: IU Press). 1990.
Sjadzali,
Munawir . Islam dan Tata Negata, (Jakarta: UI Press).1993.
Syarif, Mujbar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam .(Jakarta:
Erlangga). 2007).
Zar, H. Sirajuddin . “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2004.
[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga
Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 26. Nabi Ibrahim hidup
antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria.
[2] Ibid.,
26-27
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 216-217. Pada buku ini
dalam catatan kaki terdapat juga nama lengkap dari masing-masing tokoh.
[4]
Mujbar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh
Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Erlangga,2007), hal
26-28
[5]
H. Sirajuddin Zar, 2004. “Filsafat Islam”.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[6]
Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs. H. Amin Husein Nasution, M.A. Pemikiran Politik Islam: dari masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal 16
[7] Azyurmadi Azra, Pergolakan Plitik Islam: Dari
Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
4
[8] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press,
1990) Cet-V. h. 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar