Jumat, 24 November 2017

TOKOH POLITIK ISLAM KLASIK “AL-FARABI DAN AL-MAWARDI”




TOKOH POLITIK ISLAM KLASIK “AL-FARABI DAN AL-MAWARDI”
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.[1] Empat belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi kita saat ini.        
Pemikiran politik islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Di Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulullah, yang menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam untuk mengambil subtansi ajaran sosial dan politik.
            Setelah wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah. Kemudian berbagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat islam.
            Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perebutan kekuasaan antara keduanya melahirkan persoalan teologis yang sangat kuat (kafir mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran yang sebelumnya di masa Rasulullah tidak ada, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah Waljamaah, dan Murjiah.[2]
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu, akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah, para ahli ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh yang terkenal sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu[3] Al-Baqillani (w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran politik di masa selanjutnya, munculnya sejumlah pemikir politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, dan Syah Waliyullah al-Dahlawi[4]
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa Nabi Muhammad Saw merupakan masa di mana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah  kekuasaan islam. Pada masa Abbasiyah, pemikiran politik islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Di bawah Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keemasan. Sastra, terkumpulnya Shahih Bukhari dan Muslim, 4 imam mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), dan teologi merupakan bukti gemerlapnya kemajuan pengetahuan di masa Dinasti Abbasiyah. Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah :
Al-Farabi
Bernama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, ia juga dikenal dengan sebutan nama Abu Nasir al-Farabi namun beliau terkenal dengan nama Al-Farabi.  Ia dilahirkan di Utrar (Farab) pada 257 H/870 M, dan  meninggal dunia di Damaskus pada 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.[5]
Teori pemikiran politik Al-Farabi dapat diringkas sebagai berikut :
1.      Allah SWT. menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
2.      Manusia perlu hidup bermasyarakat.
3.      Manusia mempunyai perbedaan-perbedaan.
4.      Ada masyarakat sempurna besar semisal perserikatan internasional.
5.      Masyarakat yang belum sempurna misalnya masyarakat desa, kampong, lorong dan keluarga.
6.      Negara kota adalah kesatuan politik yang terbaik, negara utama.
7.      Warga Negara dibagi menjadi tiga kelas, yaitu elit politik, angkatan bersenjata dan rakyat jelata.
8.      Kepala Negara harus ada lebih dahulu, baru kemudian rakyat yang dikepalainya.

Al-Mawardi
Bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, penulis kitab Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan). dilahirkan di Basrah, Irak. Dia seorang pemikir Islam  yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.  Terbukti pada masa pemerintahan Khalifah al-Qardi (991-1031 M) dia diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Bagdhdad.[6]
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya[7] Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan.
Teori pemikiran politik Al-Mawardi dapat diringkas sebagai berikut:
1.      Manusia secara syahsiyah adalah berbeda, tetapi saling membutuhkan.
2.      Negara harus ditopang oleh enam hal yaitu al-Diinu al-Muttaba’ (agama yang dihayati), Sulthaanun Qaahirun (penguasa yang berwibawa), ‘Adlun Syaamilun (keadilan yang merata), Amnun ‘Aamun (keamanan yang mumpuni), Hashbun daaimun (kelestarian kesuburan tanah).
3.      Iman, raja atau sultan merangkap jabatan agama dan politik, Al-Imaamah maudhu’ah Likhilaafati an-nubuwwati Fii hiraasati al-Dini wasiyaasati al-dunya, (kepemimpinan dimaksudkan untuk menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan siasat dunia) (Al-Mawardi, 130 H;4).
4.      Sistem kerajaan turun temurun merupakan system ideal dengan dua macam wazir, yaitu wazir tafwidh yang memiliki kewenangan menggariskan kebijakan  dan wazir tanfidz yang sekedar pelaksanaan kebijakan.
5.      Seleksi Imam harus dilaksanakan oleh ahlu al-ikhtiyaar yang adil dan berwawasan luas.
6.      Hak mengisi jabatan adalah ahlu al-imaamah yang memiliki sifat tujuh yaitu, adil, ahli ijtihad, sehat inderanya, utuh anggota badannya, berwawasan luas, berani dan kekuasaan Quraisy.
7.      Pemilihan bisa melalui bisa melalui ahlu al-halli wa al-‘aqdi atau wasiat dari pendahulunya.
8.      Imam dapat dijatuhkan jika menyimpang.
9.      Hubungan antara ahlu al-halli wa al-‘aqdi dengan iman bersifat kontrak sosial atas dasar suka rela yang melahirankan kewajiban dan hak timbale balik. Teori kontrak sosial ini kemudian berkembang di dunia Barat dan Timur.
Melihat dari penjabaran yang telah disebutkan diatas mengenai beberapa pemikiran-pemikiran para pakar, dalam literature dikatakan, adanya sebuah realita bahwa tiap tokoh tersebut tidak memberikan penjabaran yang eksplisit mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberentian seorang kepala negara. Dan menjadi sebuah pertanyaan, adakah pemikir Islam yang nantinya berani menggagas secara gambling mengenai mekanisme baku bernegara dalam Islam, sehingga pengharapan dengan adanya penyeragamana umat Islam dalam bermasyarakat terwujud.
Tidak ada pengklasifikasian yang jelas mengenai karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat para tokoh tersebut.[8]
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola piker para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, seperti Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.



Daftar Pustaka
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX . (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2003.
Azra, Azyurmadi . Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme,  (Jakarta: Paramadina). 1996.
Hamzah, Muchotob. Menjadi Politisi Islami (FIKIH POLITIK). (Yogyakarta:GAMA MEDIA). 2004.
Iqbal, Muhammad. dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam: dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana). 2010.
Pulungan, J. Suyuthi . Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). 1993.
Syadzali, Munawir . Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press). 1990.
Sjadzali, Munawir . Islam dan Tata Negata, (Jakarta: UI Press).1993.
Syarif, Mujbar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam .(Jakarta: Erlangga). 2007).
Zar, H. Sirajuddin . “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.




[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 26. Nabi Ibrahim hidup antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria.
[2] Ibid., 26-27
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 216-217. Pada buku ini dalam catatan kaki terdapat juga nama lengkap dari masing-masing tokoh.
[4] Mujbar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Erlangga,2007), hal 26-28

[5] H. Sirajuddin Zar, 2004. “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[6] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs. H. Amin Husein Nasution, M.A. Pemikiran Politik Islam: dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal 16

[7] Azyurmadi Azra, Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 4

[8] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press, 1990) Cet-V. h. 60


Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.[1] Empat belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi kita saat ini.        
Pemikiran politik islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Di Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulullah, yang menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam untuk mengambil subtansi ajaran sosial dan politik.
            Setelah wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah. Kemudian berbagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat islam.
            Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perebutan kekuasaan antara keduanya melahirkan persoalan teologis yang sangat kuat (kafir mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran yang sebelumnya di masa Rasulullah tidak ada, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah Waljamaah, dan Murjiah.[2]
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu, akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah, para ahli ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh yang terkenal sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu[3] Al-Baqillani (w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran politik di masa selanjutnya, munculnya sejumlah pemikir politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, dan Syah Waliyullah al-Dahlawi[4]
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa Nabi Muhammad Saw merupakan masa di mana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah  kekuasaan islam. Pada masa Abbasiyah, pemikiran politik islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Di bawah Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keemasan. Sastra, terkumpulnya Shahih Bukhari dan Muslim, 4 imam mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), dan teologi merupakan bukti gemerlapnya kemajuan pengetahuan di masa Dinasti Abbasiyah. Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah :
Al-Farabi
Bernama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, ia juga dikenal dengan sebutan nama Abu Nasir al-Farabi namun beliau terkenal dengan nama Al-Farabi.  Ia dilahirkan di Utrar (Farab) pada 257 H/870 M, dan  meninggal dunia di Damaskus pada 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.[5]
Teori pemikiran politik Al-Farabi dapat diringkas sebagai berikut :
1.      Allah SWT. menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
2.      Manusia perlu hidup bermasyarakat.
3.      Manusia mempunyai perbedaan-perbedaan.
4.      Ada masyarakat sempurna besar semisal perserikatan internasional.
5.      Masyarakat yang belum sempurna misalnya masyarakat desa, kampong, lorong dan keluarga.
6.      Negara kota adalah kesatuan politik yang terbaik, negara utama.
7.      Warga Negara dibagi menjadi tiga kelas, yaitu elit politik, angkatan bersenjata dan rakyat jelata.
8.      Kepala Negara harus ada lebih dahulu, baru kemudian rakyat yang dikepalainya.

Al-Mawardi
Bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, penulis kitab Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan). dilahirkan di Basrah, Irak. Dia seorang pemikir Islam  yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.  Terbukti pada masa pemerintahan Khalifah al-Qardi (991-1031 M) dia diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Bagdhdad.[6]
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya[7] Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan.
Teori pemikiran politik Al-Mawardi dapat diringkas sebagai berikut:
1.      Manusia secara syahsiyah adalah berbeda, tetapi saling membutuhkan.
2.      Negara harus ditopang oleh enam hal yaitu al-Diinu al-Muttaba’ (agama yang dihayati), Sulthaanun Qaahirun (penguasa yang berwibawa), ‘Adlun Syaamilun (keadilan yang merata), Amnun ‘Aamun (keamanan yang mumpuni), Hashbun daaimun (kelestarian kesuburan tanah).
3.      Iman, raja atau sultan merangkap jabatan agama dan politik, Al-Imaamah maudhu’ah Likhilaafati an-nubuwwati Fii hiraasati al-Dini wasiyaasati al-dunya, (kepemimpinan dimaksudkan untuk menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan siasat dunia) (Al-Mawardi, 130 H;4).
4.      Sistem kerajaan turun temurun merupakan system ideal dengan dua macam wazir, yaitu wazir tafwidh yang memiliki kewenangan menggariskan kebijakan  dan wazir tanfidz yang sekedar pelaksanaan kebijakan.
5.      Seleksi Imam harus dilaksanakan oleh ahlu al-ikhtiyaar yang adil dan berwawasan luas.
6.      Hak mengisi jabatan adalah ahlu al-imaamah yang memiliki sifat tujuh yaitu, adil, ahli ijtihad, sehat inderanya, utuh anggota badannya, berwawasan luas, berani dan kekuasaan Quraisy.
7.      Pemilihan bisa melalui bisa melalui ahlu al-halli wa al-‘aqdi atau wasiat dari pendahulunya.
8.      Imam dapat dijatuhkan jika menyimpang.
9.      Hubungan antara ahlu al-halli wa al-‘aqdi dengan iman bersifat kontrak sosial atas dasar suka rela yang melahirankan kewajiban dan hak timbale balik. Teori kontrak sosial ini kemudian berkembang di dunia Barat dan Timur.
Melihat dari penjabaran yang telah disebutkan diatas mengenai beberapa pemikiran-pemikiran para pakar, dalam literature dikatakan, adanya sebuah realita bahwa tiap tokoh tersebut tidak memberikan penjabaran yang eksplisit mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberentian seorang kepala negara. Dan menjadi sebuah pertanyaan, adakah pemikir Islam yang nantinya berani menggagas secara gambling mengenai mekanisme baku bernegara dalam Islam, sehingga pengharapan dengan adanya penyeragamana umat Islam dalam bermasyarakat terwujud.
Tidak ada pengklasifikasian yang jelas mengenai karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat para tokoh tersebut.[8]
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola piker para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, seperti Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.



Daftar Pustaka
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX . (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2003.
Azra, Azyurmadi . Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme,  (Jakarta: Paramadina). 1996.
Hamzah, Muchotob. Menjadi Politisi Islami (FIKIH POLITIK). (Yogyakarta:GAMA MEDIA). 2004.
Iqbal, Muhammad. dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam: dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana). 2010.
Pulungan, J. Suyuthi . Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). 1993.
Syadzali, Munawir . Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press). 1990.
Sjadzali, Munawir . Islam dan Tata Negata, (Jakarta: UI Press).1993.
Syarif, Mujbar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam .(Jakarta: Erlangga). 2007).
Zar, H. Sirajuddin . “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.




[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 26. Nabi Ibrahim hidup antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria.
[2] Ibid., 26-27
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 216-217. Pada buku ini dalam catatan kaki terdapat juga nama lengkap dari masing-masing tokoh.
[4] Mujbar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Erlangga,2007), hal 26-28

[5] H. Sirajuddin Zar, 2004. “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[6] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs. H. Amin Husein Nasution, M.A. Pemikiran Politik Islam: dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal 16

[7] Azyurmadi Azra, Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 4

[8] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press, 1990) Cet-V. h. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar