Minggu, 26 November 2017

Politik Islam di Era Orde Lama



Politik Islam di Era Orde Lama (1959-1966)
Jafar Sidik (11140150000080)
Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya era baru politik Indonesia yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan dekrit, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respont yang beragam dari kalangan partai Islam. Ahmad Syafi’i Maarif membagi era Demokrasi Terpimpin yang berumur hingga September 1965 ini menjadi periode proses kristalisasi (hingga Desember 1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan salah satu pilar penyangganya.[1]
Pada masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960. Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menjelaskan butir-butir pokok Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori :
  1. Orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan Negara.
  2. Tiap-tiap orang mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan Negara. Dua kategori ini menjelaskan sasaran yang hendak dicapai oleh sistem itu.[2]
  1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.[3] Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.[4]
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.[5]
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.
Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.[6] Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.
Demokrasi Terpimpin pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.[7] Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.[8]
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.[9]
2.      Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah suatu kenyataan politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat Islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini. Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam Indonesia.
Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas. Menurut kategori Sukarno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“ atau dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon yang juga popular dalam kamus politik Soekarno. Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama masyumi, tidaklah hidup pada masa Demokrasi Terpimpin.[10]
Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya.
Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi Terpimpin dan ingin mewarnai peta percaturan politik   berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan Islam dalam tataran politik dan mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat berpengaruh.
Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali. Antara keduannya seakan-akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.[11]

3.      GERAKAN DAN PEMIKIRAN POLITIK DARUL ISLAM
Terlepas dari legal dan tidaknya gerakan politik Darul Islam atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewirjo, bangsa Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaannya pernah menyaksikan tarik-menarik tentang ideologi Negara. S.M. Kartosoewirjo melalui DI/TII-nya menghendaki Islam sebagai ideologi dan agama resmi Negara. Namun, di pihak lain, tokoh-tokoh bangsa ini yang umumnya nasionalis menghendaki pancasila sebagai ideologi Negara karena dipandang dapat lebih menjamin keberadaan penganut agama selain Islam di Negara ini.[12]
Gerakan Darul Islam yang popular dengan gerakan DI/TII, merupakan gerakan politik keagamaan yang dipimpin oleh Kartosoewiryo. Gerakan ini merupakan aksi nyata dari prinsip dan sikap politik Islamnya, yakni hijrah. Sikap politik hijrah yang ia pahami harus diwujudkan melalui perjuangan dan gerakan politik. Dalam perjuangan politiknya itu, Negara Islam Indonesia harus tetap berpegang pada dua akidah politik, yakni ideologi atau cita-cita dan realita. Yang pertama menjadi tujuan dari semua perjuangan politik, sedangkan yang kedua merupakan sejumlah kekuatan jiwa, harta kecakapan, kepandaian dan lain-lain dalam rangka mencapai ideology atau cita-cita politiknya.
Ketika meletusnya pemberontakan DI/TII ini pembeda utamanya adalah soal keabsahan Republik Indonesia. Gerakan DI/TII muncul justru memperjuangkan semua aspirasi umat Islam. Sebab, menurut Kartosoewirjo, aspirasi umat Islam dapat diterjemahkan sebagai berikut
  1. Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasar Islam.
  2. Pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum-hukum syara’ agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya.
  3. Setiap umat Islam harus memperoleh kesempatan dan lapangan usaha untuk melakukan kewajibannya, baik yang menyangkut aspek duniawi maupun ukhrawi.
  4. Umat Islam harus terlepas dari segala bentuk perhambaan.
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa cita-cita umat Islam (ideologi Islam), yakni ingin membangun dunia Baru atau Dunia Islam atau dengan kata lain Dar Al-Islam dalam rangka memperoleh Mardhatillah dan Rahmatillah. Dalam tertib politiknya, ada dua penyangga dalam ideologi Negara Islam Indonesia. Pertama, semua kedaulatan berada di tangan Allah. Kedua, pandangan korporatif tentang masyarakat yang di dalamnya terdapat kelompok berbeda yang secara adil mempunyai hak dan tanggung jawab yang tidak sama rata dan tunduk pada kewajiban-kewajiban hukum yang sangat berbeda.[13]
Pada akhirnya, sejarah bangsa ini mencatat dan menepatkan DI/TII sebagai gerakan politik Islam sempalan yang merongrong keutuhan Republik ini, sehingga atas nama keutuhan bangsa dan Negara, DI/TII ditumpas habis oleh rezim Soekarno dan disapu bersih oleh rezim Soeharto.
5.      Aspirasi dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde Lama
Dalam  periode  Orde Lama, tampaknya  peran  umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar : pertama,  peran umat  Islam  yang  bersikap  kritis  kepada  negara  yang diwakili  oleh  Masyumi;  kedua, peran  umat  Islam  yang bersikap akomodatif kepada negara yang diwakili oleh  NU; ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran  (di luar pagar sampai memberontak) yang diwakili oleh gerakan DI/TII. Sehingga  dalam  posisi  ini Douglas   Ramage, memberikan  makna  yang  khas,  bahwa  Umat  Islam  lebih disosokkan  sebagai  ancaman. Dalam  pandangannya,  Islam pernah ditempatkan sebagai kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.[14]
Umat Islam membentuk Kogalam  (Komando Kesiapsiagaan Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan Negara komunis.  Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan Negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia.  Dengan adanya  Ketetapan MPRS No. XXV/ 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orderbownya dibubarkan, ajaran Komunisme -Marxistme dilarang untuk seluruh Indonesia.[15]








DAFTAR PUSTAKA

Darban, Ahmad Adaby, Peran Serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia. Yogyakarta: UII. 1989.
Ghazali, Adeng Muchtar. Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah. Cet.1. Bandung : Pustaka Setia, 2004.
Lihat dalam Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and  The Ideology of Tolerance, London, Routledge, 1995.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negaraa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.
Maarif,  Ahmad Syafi’i. Islam dan Masyarakat Kenegaraan. Jakarta : LP3ES, 1985.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta : PT Pustaka Parama Abiwara, 1988.
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer). Cet. I. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994.



[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), Hlm. 267-268.
[2] Adang Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2004). Hlm. 123.
[3] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, (Jakarta : LP3ES, 1985), Hlm. 115.
[4] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1960), (Yogyakarta : PT Pustaka Parama Abiwara, 1988), Hlm. 38.
[5] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, Hlm. 38-40.
[6] Ibid, Hlm. 178.
[7] Ibid, Hlm. 183-186.
[8] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994), Hlm. 403-404.
[9] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, Hlm. 406.
[10] Ahmad Syafi’ie Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasa Negara, Hal 190.
[11] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Hlm. 270-271.
[12] Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanaan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2004). Hlm. 70.
[13] Ibid, Hlm. 101.
[14] Lihat dalam Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and  The Ideology of Tolerance, London, Routledge, 1995.
[15] Ahmad Adaby Darban, Peran Serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia. Yogyakarta : UII, 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar