Jumat, 24 November 2017

PEMIKIRAN TOKOH POLITIK ISLAM KLASIK “IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN”



TOKOH POLITIK ISLAM KLASIK “IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN”
11140150000080
Ja’far Sidik

a.      Ibnu Taimiyah (661-728 H)
Bernama lengkap Abdul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Slam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (Bahasa Arab أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني ), atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah, ia lahir pada 22 Januari 1236/10 Rabiul Awwal 661 H dan wafat  pada 1328/20 Dzulhijjah 728 H, ia adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki. [1]
Ibnu Taimiyah ia adalah tokoh bermazhab Hanbali, ia mempunyai gagasan pemikiran terhadap politik yang dituangkan dalam kitab al-siyasah al-syar’iyah fi Islah al-Ra’I wa al Ra’iyah. Dasar teori politiknya bersendikan agama, yaitu al-Qur’an Surah al-Maidah/5;58-59. Pada ayat 58 ditujukan kepada para pemimpin negara agar menyampaikan amanat kepada yang berhak, yaitu berbuat adil dalam menjatuhkan hukuman atas persengketaan warga negara, sedangkan pada ayat 59 ditujukan kepada seluruh rakyat agar taat kepada pemimpin, selama perintahnya tidak untuk berbuat maksiat.
Implikasi Faktor Obyektif dalam Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
Lahirnya suatu pemikiran sangat erat kaitannya dengan konteks sosial sebagai faktor yang melatarinya.[2] Sebuah pemikiran lahir umumnya setelah mengalami proses dialektika sosial yang panjang, karena itu tidak dapat memisahkan diri dari faktor situasional yang mengitarinya. Untuk memahami pemikiran seorang pemikir secara objektif, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni perkembangan intelektualitasnya dan realitas objektif yang mengitari hidupnya Pengetahuan atas perkembangan intelektual seorang pemikir, akan dapat terhindarkan dari jebakan subjektifitas dan simplikasi. Sedang pengetahuan atas realitas objektif akan dapat menangkap faktor-faktor yang mendorongnya untuk mengartikulasi-kan ide, pandangan dan sikapnya, bahkan metode yang yang ditempuh untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang diagendakan.[3] Demikian juga dengan Ibnu Taimiyah, sebagai pemikir yang realistis, di atas realitas politiklah ia merumuskan pemikirannya sebagai jawaban terhadap tantangan keadaan yang berkembang di masanya.
Beberapa pemikiran tersebut antara lain :
1. Kosmopolitanisme
Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ajaran bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) seperti disebutkan dalam Q.S. Al-Anbiya : 107.
Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim.” [4]
Jelas sekali pendapat Taimiyah ini dalam konteks kepemimpinan dan kewarganegaraan sangat kosmopolit dengan memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya. Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal. Dengan demikian syari’ah dan keadilan universal adalah suatu yang paralel dan harus berjalan seiring.
Lahirnya gagasan kosmopolit dapat ditelusuri oleh berbagai faktor. Ibnu Taimiyah hidup dalam lingkungan masyarakat yang hiterogen. Hiterogenitasnya menyangkut hal yang sangat kompleks, baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat berbagai bangsa : Arab asal Irak, Arab asal Suria, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia dan sebagainya. Mereka masing-masing berbeda dalam adat istiadat, tradisi, prilaku dan alam pikiran.[5]
Hal tersebut jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan bagi kehidupan bernegara. Dalam situasi demikian sukar diciptakan stabilitas politik, keserasian sosial, dan pemupukan moral serta akhlak. Selain itu dipertajam lagi oleh faktor banyaknya mazhab, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Jika semasa hidupnya sering keluar masuk penjara, hal itu tidak selalu disebabkan karena ia memusuhi penguasa. Dia adalah tokoh mazhab Hanbali yang tegas dan berani, karena kritiknya yang tegas dan tajam terhadap kebiasaan memuja para Nabi dan Wali, maka ia mendapat tantangan dari para ulama dan mazhab lain.
2. Doktrin Kekhalifahan di tangan orang Quraisy tidak relevan dan tidak urgen
Isu sentral yang dikumandangkan Ibn Taimiyyah adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, dengan membuang jauh-jauh perbuatan syirik, khurafat, bid’ah, pengkultusan seseorang dan lain-lain. Dalam kerangka inilah kita dapat melihat relevansi kondisi sosial masyarakat yang mendorong Ibnu Taimiyyah untuk tidak mengakui kehujjahan hadits bahwa pemimpin harus dari bangsa Quraisy, karena dalam hadits tersebut ada unsur yang menyeru kepada pengkultusan suatu bangsa atau golongan. Padahal Al-Quran menurut Ibnu Taimiyah memuliakan manusia bukan karena keturunan dan kebangsaan, namun atas dasar ketaqwaan. Sehingga wajar kalau pada akhirnya ia tidak mengakui kequraisyan sebagai salah satu syarat kekhalifahan, tetapi berusaha menggali syarat-syarat kepemimpinan berdasarkan syari’at melalui pesan dan nilai-nilai Al-Qur’an. Kepemimpinan berdasarkan syari’ah inilah yang merupakan konsep politik yang ia tawarkan sebagai usaha memberikan solusi atas kondisi politik yang dihadapinya.
3. Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Institusi Negara
Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, merupakan keniscayaan. Dari konsep ini kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan. “Manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.” [6]
Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat menuntut  kepatuhan dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk kita”.[7]
Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.[8]
Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.”.[9] Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
            Teori pemikiran politik Ibnu Taimiyah dapat diringkas sebagai berikut :
1.     Pemerintahan sebagai pemegang amanat (trustee) harus menyampaikan anmanat (trust) yang diberikan oleh pemberi amanat (truste).
2.     Kepala negara hendaknya memberikan wewenang kepada orang-orang yang terbaik dari segi kepentingan rakyat.
3.     Meritokrasi 9memberikan kepada seseorang yang ahli).
4.     Rakyat harus wajib membayar kewajiban kepada negara dan kepala negara harus membelajakan kekayaan secara benar.
5.     Eksekusi (pelaksanaan) hukum pidana yang merupakan hak Allah SWT. Seperti menyamun, mencuri, berzina dan sebagainya, harus ditegakkan tanpa pandang bulu, meskipun tak ada pengaduan.
6.     Eksekusi (pelaksanaan) hukum pidana yang merupakan hak manusia seperti hukum qishash dihimbau agar pihak keluarga memberi maaf.
7.     Kepala negara tidak boleh meninggalkan musyawarah.
8.     Pengangkatan iman dan penyelenggaraan negara adalah kewajiban yang paling agung demi terwujudnya saling membantu dan amar ma’ruf nahi munkar.
9.     Kepala negara adalah bayangan Allah SWT di bumi dengan kewenangan memerintah yang bersumber dari Tuhan.
10.  Keadilan adalah hak yang harus ditegakkan diatas segala-galanya.
Ditambahkan atas pendapat Taimiyah oleh Munawir Syadzali (1990:11) kepala negara yang bukan muslim tetapi adil lebih baik daripada kepala negara muslim tetapi tidak adil. Akan tetapi, hal ini dibantah oleh KH.Firdaus AN (1999:128) [10]

b.     Ibnu Khaldun (1362-1406 M)
Bernama lengkap Wali al-Din.al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abu Bakr Muhammad al-Hasan ibn Khaldun, ia lahir di Tunis pada tanggal 1 Ramadhan 723 H (7 Mei 1332 M) dan wafat pada 26 Ramadhan 808 H atau 16 Maret 1406 M .[11] Adalah penulis kitab Muqaddimah yang merupakan jilid pertama dari kitab Al-Ibar. [12]
Teori pemikiran politik Ibnu Khaldun dapat diringkas sebagai berikut :
1.     Manusia sebagai makhluk sosial, memerlukan organisasi kemasyarakatan.
2.     Oleh karena itu memerlukan seorang raja, khalifah atau imam sebagai pemegang kendali hukum.
3.     Faktor goegrafi dapat memepengaruhi kehidupan poliyik suatu negara.
4.     Ashabiyah (sukuisme) dalah fitrah manusia yang melahirkan semangat saling membantu.
5.     Imam atau khalifah harus dipilih oleh ahlu al-halli wa al-‘aqdi.
6.     Khalifah sebagai pengganti Nabi untuk menjaga agama dan politik duniawi.
7.     Khalifah harus alim, adil, cakap, sehat dan keturunan Quraisy selagi suku itu masih potensial.
8.     Dalam upaya menghindari ketidakadilan imam, hubungan imam dan rakyat hendaknya didasarkan pada peraturan politik yang harus ditaati oleh semua pihak, baik berupa rekayasa cendekiawan maupun (dan lebih utama) ajaran agama.[13]



Daftar Pustaka

Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004), h. 31

Gibb, H. A. R, The Encycloapedia of Islam (Leiden : E. J. Brill). 1960

H.M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad – Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta:       Titian Ilahi Press). 1998
Hamzah, Muchotob, Menjadi Politisi Islami (Fikih Politik), (Yogyakarta: Gama      Media). 2004

http//wikipedia.com, diakses pada Selasa, 14 Oktober 2017 pukul.14.00  Mudzhar,

Iqbal, Muhammad, M.Ag dan Husein. Amin Nasution,  Pemikiran politik Islam,    (Jakarta: Kencana). 2010

Masyaruddin, Pemberontakan Tasawuf : Kritik Ibnu Taimiyah atas Rancang Bangun        Tasawuf, (Surabaya : JP Box dan STAIN Kudus Press). 2007

Surwandono, “Pemikiran Politik Islam“, (Yogyakarta: LPPI UMY). 2001

Taimiyah, Ibnu, Public Duties in Islam, (London: The Institution of the Hisba,1985)

Taimiyah, Ibnu, Tugas Negara menurut Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). 2004


[1] http//wikipedia.com, diakses pada Selasa, 14 Oktober 2017 pukul.14.00 
[2] H.. M.. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad – Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 105
[3] Masyaruddin, Pemberontakan Tasawuf : Kritik Ibnu Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf, (Surabaya : JP Box dan STAIN Kudus Press, 2007). h. 27.
[4] Surwandono, “Pemikiran Politik Islam“, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2001) hal 16

[5] H. A. R. Gibb, The Encycloapedia of Islam (Leiden : E. J. Brill, 1960), h. 59
[6] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.35
[7] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004), h. 31
[8] Ibnu Taimiyah, Public Duties in Islam, (London: The Institution of the Hisba,1985)
[9] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
[10] Muchotob Hamzah, Menjadi Politisi Islami (Fikih Politik), (Yogyakarta: Gama Media.2004), hal 39
[11] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs. H. Amin Husein Nasution, M.A. Pemikiran politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2010) hal 41
[12] Hamzah, hal 40
[13] Hamzah, h. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar