TOKOH POLITIK ISLAM KLASIK “IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN”
11140150000080
Ja’far
Sidik
a. Ibnu Taimiyah (661-728 H)
Bernama lengkap
Abdul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Slam bin Abdullah bin Taimiyah al
Harrani (Bahasa Arab أبو عباس تقي الدين أحمد بن
عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني ), atau yang biasa
disebut dengan nama Ibnu Taimiyah, ia lahir pada 22 Januari 1236/10 Rabiul
Awwal 661 H dan wafat pada 1328/20
Dzulhijjah 728 H, ia adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
[1]
Ibnu Taimiyah ia adalah tokoh bermazhab
Hanbali, ia mempunyai gagasan pemikiran terhadap politik yang dituangkan dalam
kitab al-siyasah al-syar’iyah fi Islah al-Ra’I
wa al Ra’iyah. Dasar teori politiknya bersendikan agama, yaitu al-Qur’an Surah al-Maidah/5;58-59.
Pada ayat 58 ditujukan kepada para pemimpin negara agar menyampaikan amanat
kepada yang berhak, yaitu berbuat adil dalam menjatuhkan hukuman atas
persengketaan warga negara, sedangkan pada ayat 59 ditujukan kepada seluruh
rakyat agar taat kepada pemimpin, selama perintahnya tidak untuk berbuat
maksiat.
Implikasi Faktor Obyektif dalam Pemikiran Politik
Ibnu Taimiyah
Lahirnya suatu pemikiran sangat erat kaitannya dengan
konteks sosial sebagai faktor yang melatarinya.[2]
Sebuah pemikiran lahir umumnya setelah mengalami proses dialektika sosial yang
panjang, karena itu tidak dapat memisahkan diri dari faktor situasional yang
mengitarinya. Untuk memahami pemikiran seorang pemikir secara objektif, paling
tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni perkembangan
intelektualitasnya dan realitas objektif yang mengitari hidupnya Pengetahuan
atas perkembangan intelektual seorang pemikir, akan dapat terhindarkan dari
jebakan subjektifitas dan simplikasi. Sedang pengetahuan atas realitas objektif
akan dapat menangkap faktor-faktor yang mendorongnya untuk mengartikulasi-kan
ide, pandangan dan sikapnya, bahkan metode yang yang ditempuh untuk
merealisasikan gagasan-gagasan yang diagendakan.[3]
Demikian juga dengan Ibnu Taimiyah, sebagai pemikir yang realistis, di atas
realitas politiklah ia merumuskan pemikirannya sebagai jawaban terhadap
tantangan keadaan yang berkembang di masanya.
Beberapa
pemikiran tersebut antara lain :
1.
Kosmopolitanisme
Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah selalu menjadikan
Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme. Untuk
gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ajaran bahwa Islam
sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil
alamin) seperti disebutkan dalam Q.S. Al-Anbiya : 107.
Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh
Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromosikan
kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek
politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih memenangkan gagasan
keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama
seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh
pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang
dzalim.” [4]
Jelas sekali pendapat Taimiyah ini dalam konteks
kepemimpinan dan kewarganegaraan sangat kosmopolit dengan memandang manusia
sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan
ikatan-ikatan tradisional lainnya. Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin
yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang
peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan tugas utama
Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan
universal. Dengan demikian syari’ah dan keadilan universal adalah suatu yang
paralel dan harus berjalan seiring.
Lahirnya gagasan kosmopolit dapat ditelusuri oleh berbagai
faktor. Ibnu Taimiyah hidup dalam lingkungan masyarakat yang hiterogen.
Hiterogenitasnya menyangkut hal yang sangat kompleks, baik dalam hal
kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat
sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat
tinggi. Dalam satu wilayah terdapat berbagai bangsa : Arab asal Irak, Arab
asal Suria, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap,
Armenia dan sebagainya. Mereka masing-masing berbeda dalam adat istiadat,
tradisi, prilaku dan alam pikiran.[5]
Hal tersebut jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan bagi
kehidupan bernegara. Dalam situasi demikian sukar diciptakan stabilitas
politik, keserasian sosial, dan pemupukan moral serta akhlak. Selain itu
dipertajam lagi oleh faktor banyaknya mazhab, seperti mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali. Jika semasa hidupnya sering keluar masuk penjara, hal itu
tidak selalu disebabkan karena ia memusuhi penguasa. Dia adalah tokoh mazhab
Hanbali yang tegas dan berani, karena kritiknya yang tegas dan tajam terhadap
kebiasaan memuja para Nabi dan Wali, maka ia mendapat tantangan dari para ulama
dan mazhab lain.
2.
Doktrin Kekhalifahan di tangan orang Quraisy tidak relevan dan tidak urgen
Isu sentral yang dikumandangkan Ibn Taimiyyah adalah kembali
kepada Al-Qur’an dan Hadits, dengan membuang jauh-jauh perbuatan syirik,
khurafat, bid’ah, pengkultusan seseorang dan lain-lain. Dalam kerangka inilah
kita dapat melihat relevansi kondisi sosial masyarakat yang mendorong Ibnu
Taimiyyah untuk tidak mengakui kehujjahan hadits bahwa pemimpin harus
dari bangsa Quraisy, karena dalam hadits tersebut ada unsur yang menyeru kepada
pengkultusan suatu bangsa atau golongan. Padahal Al-Quran menurut Ibnu Taimiyah
memuliakan manusia bukan karena keturunan dan kebangsaan, namun atas dasar
ketaqwaan. Sehingga wajar kalau pada akhirnya ia tidak mengakui kequraisyan
sebagai salah satu syarat kekhalifahan, tetapi berusaha menggali syarat-syarat
kepemimpinan berdasarkan syari’at melalui pesan dan nilai-nilai Al-Qur’an. Kepemimpinan
berdasarkan syari’ah inilah yang merupakan konsep politik yang ia tawarkan
sebagai usaha memberikan solusi atas kondisi politik yang dihadapinya.
3.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Institusi Negara
Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok dalam mengelola
kapasitas alam, merupakan keniscayaan. Dari konsep ini kemudian akan melahirkan
institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang
institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam
pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan. “Manusia pada dasarnya berwatak
madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul,
pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk
mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu,
diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota
masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang
defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.” [6]
Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan
memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas
mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena
pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui
suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian
untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat menuntut kepatuhan
dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih
baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi
hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk
kita”.[7]
Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan
mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga
yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri
khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar.
Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas
dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan
mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan
prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam.
Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.[8]
Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan,
Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara.
“Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik
meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.”.[9]
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi
dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan
fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan
Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah
syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga
sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan
mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Teori pemikiran politik Ibnu Taimiyah dapat diringkas
sebagai berikut :
1. Pemerintahan sebagai pemegang amanat (trustee)
harus menyampaikan anmanat (trust) yang diberikan oleh pemberi amanat (truste).
2. Kepala negara hendaknya memberikan wewenang
kepada orang-orang yang terbaik dari segi kepentingan rakyat.
3. Meritokrasi 9memberikan kepada seseorang yang
ahli).
4. Rakyat harus wajib membayar kewajiban kepada
negara dan kepala negara harus membelajakan kekayaan secara benar.
5. Eksekusi (pelaksanaan) hukum pidana yang
merupakan hak Allah SWT. Seperti menyamun, mencuri, berzina dan sebagainya,
harus ditegakkan tanpa pandang bulu, meskipun tak ada pengaduan.
6. Eksekusi (pelaksanaan) hukum pidana yang
merupakan hak manusia seperti hukum qishash dihimbau agar pihak keluarga
memberi maaf.
7. Kepala negara tidak boleh meninggalkan
musyawarah.
8. Pengangkatan iman dan penyelenggaraan negara
adalah kewajiban yang paling agung demi terwujudnya saling membantu dan amar
ma’ruf nahi munkar.
9. Kepala negara adalah bayangan Allah SWT di bumi
dengan kewenangan memerintah yang bersumber dari Tuhan.
10. Keadilan adalah hak yang harus ditegakkan
diatas segala-galanya.
Ditambahkan atas pendapat Taimiyah oleh Munawir
Syadzali (1990:11) kepala negara yang bukan muslim tetapi adil lebih baik
daripada kepala negara muslim tetapi tidak adil. Akan tetapi, hal ini dibantah
oleh KH.Firdaus AN (1999:128) [10]
b. Ibnu Khaldun (1362-1406 M)
Bernama lengkap
Wali al-Din.al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abu Bakr Muhammad al-Hasan
ibn Khaldun, ia lahir di Tunis pada tanggal 1 Ramadhan 723 H (7 Mei 1332 M) dan
wafat pada 26 Ramadhan 808 H atau 16 Maret 1406 M .[11]
Adalah penulis kitab Muqaddimah yang merupakan jilid pertama dari kitab Al-Ibar.
[12]
Teori pemikiran politik Ibnu
Khaldun dapat diringkas sebagai berikut :
1. Manusia sebagai makhluk sosial, memerlukan
organisasi kemasyarakatan.
2. Oleh karena itu memerlukan
seorang raja, khalifah atau imam sebagai pemegang kendali hukum.
3. Faktor goegrafi dapat
memepengaruhi kehidupan poliyik suatu negara.
4. Ashabiyah (sukuisme) dalah
fitrah manusia yang melahirkan semangat saling membantu.
5. Imam atau khalifah harus
dipilih oleh ahlu al-halli wa al-‘aqdi.
6. Khalifah sebagai pengganti
Nabi untuk menjaga agama dan politik duniawi.
7. Khalifah harus alim, adil,
cakap, sehat dan keturunan Quraisy selagi suku itu masih potensial.
8. Dalam upaya menghindari
ketidakadilan imam, hubungan imam dan rakyat hendaknya didasarkan pada peraturan
politik yang harus ditaati oleh semua pihak, baik berupa rekayasa cendekiawan
maupun (dan lebih utama) ajaran agama.[13]
Daftar
Pustaka
Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab,
(Bandung : Mizan, 2004), h. 31
Gibb, H. A. R, The Encycloapedia of
Islam (Leiden : E. J. Brill). 1960
H.M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad – Antara Tradisi dan
Liberasi (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press). 1998
Hamzah, Muchotob, Menjadi
Politisi Islami (Fikih Politik), (Yogyakarta: Gama Media). 2004
http//wikipedia.com,
diakses pada Selasa, 14 Oktober 2017 pukul.14.00 Mudzhar,
Iqbal, Muhammad, M.Ag
dan Husein. Amin Nasution, Pemikiran politik Islam, (Jakarta:
Kencana). 2010
Masyaruddin, Pemberontakan Tasawuf : Kritik Ibnu Taimiyah
atas Rancang Bangun Tasawuf,
(Surabaya : JP Box dan STAIN Kudus Press). 2007
Surwandono, “Pemikiran Politik
Islam“, (Yogyakarta: LPPI UMY). 2001
Taimiyah, Ibnu, Public Duties in Islam, (London: The Institution of the Hisba,1985)
Taimiyah, Ibnu, Tugas Negara menurut Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar). 2004
[1]
http//wikipedia.com, diakses pada Selasa, 14 Oktober 2017 pukul.14.00
[2] H.. M..
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad – Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998), h. 105
[3] Masyaruddin,
Pemberontakan Tasawuf : Kritik Ibnu Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf,
(Surabaya : JP Box dan STAIN Kudus Press, 2007). h. 27.
[10] Muchotob Hamzah, Menjadi
Politisi Islami (Fikih Politik), (Yogyakarta: Gama Media.2004), hal 39
[11] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs.
H. Amin Husein Nasution, M.A. Pemikiran
politik Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010) hal
41
[13] Hamzah, h. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar