Politik
Islam di Era Orde Lama (1959-1966)
Jafar
Sidik (11140150000080)
Berakhirnya
era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya
era baru politik Indonesia yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini
dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan
dekrit, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di
Indonesia memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan
Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respont yang beragam
dari kalangan partai Islam. Ahmad Syafi’i Maarif membagi era Demokrasi
Terpimpin yang berumur hingga September 1965 ini menjadi periode proses
kristalisasi (hingga Desember 1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya
pemberontakan G-30-S/PKI 1965). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan
kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut.
Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam
yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan
salah satu pilar penyangganya.[1]
Pada masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak
dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan
sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini,
memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk
bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno
tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960. Dalam pidatonya pada 17
Agustus 1959, Presiden Soekarno menjelaskan butir-butir pokok Demokrasi
Terpimpin dalam dua kategori :
- Orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan Negara.
- Tiap-tiap orang mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan Negara. Dua kategori ini menjelaskan sasaran yang hendak dicapai oleh sistem itu.[2]
- Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah
konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam
dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik
umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi
sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari
berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan Muhammadiyah merupakan
anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi
tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan
dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar
Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan
sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari
tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang
cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Selatan.[3]
Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi
dalam empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.[4]
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang
peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman,
posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi).
Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi
Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam
Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi
menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet
Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU
telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga
kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi
kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri
agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet
Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai
partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini
adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.[5]
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April
1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi Demokrasi
Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah
demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau
perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa
otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah
demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat
dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan
mengayomi masyarakat.
Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali
UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya
fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.[6]
Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena
menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi
bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga
berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di
mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada
tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22
Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) yang juga diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan
oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan
agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai
Manifesto Politik.
Demokrasi Terpimpin pemusatan kekuasaan ditangan seorang
pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam.
Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah
payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi
politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi
lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis
terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh
dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada
tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih
merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak
dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut
terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR
terdiri dari 94 pihak Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi,
dan wakil Islam hanya mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi
sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih
menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.[7]
Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan
kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi,
keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi
negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang
samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers
mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang
pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai
akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.[8]
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan
pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan
berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan
bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis,
Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah Nasakom
(Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah
tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai
wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.[9]
2.
Kebijakan
Orde Lama Terhadap Islam
Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok
modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok
modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah suatu kenyataan politik yang amat
pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi
liberal, umat Islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode
ini. Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan
politik Islam Indonesia.
Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini
Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam.
Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah
payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing
partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai
perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini
cukup jelas. Menurut kategori Sukarno, kelompok modernis ini “merintangi
penyelesaian revolusi kita,“ atau dengan memakai jargon komunis, mereka adalah
golongan kepala batu, suatu jargon yang juga popular dalam kamus politik
Soekarno. Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno menyatakan
lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama masyumi, tidaklah hidup pada masa
Demokrasi Terpimpin.[10]
Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan
Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut.
Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan
bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang
paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung
utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim politik yang
diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya.
Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi
Terpimpin dan ingin mewarnai peta percaturan politik berkembang
ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan Islam dalam tataran politik dan
mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat berpengaruh.
Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin
hubungan yang baik sekali. Antara keduannya seakan-akan saling membutuhkan.
Bahkan NU, bersama-sama partai Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin
serta pendukung-pendukung Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada
sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini
tentu suatu bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu,
mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.[11]
3.
GERAKAN
DAN PEMIKIRAN POLITIK DARUL ISLAM
Terlepas dari legal dan tidaknya gerakan politik Darul
Islam atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan DI/TII yang dipimpin
oleh S.M. Kartosoewirjo, bangsa Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaannya
pernah menyaksikan tarik-menarik tentang ideologi Negara. S.M. Kartosoewirjo
melalui DI/TII-nya menghendaki Islam sebagai ideologi dan agama resmi Negara.
Namun, di pihak lain, tokoh-tokoh bangsa ini yang umumnya nasionalis
menghendaki pancasila sebagai ideologi Negara karena dipandang dapat
lebih menjamin keberadaan penganut agama selain Islam di Negara ini.[12]
Gerakan Darul Islam yang popular dengan gerakan DI/TII,
merupakan gerakan politik keagamaan yang dipimpin oleh Kartosoewiryo. Gerakan
ini merupakan aksi nyata dari prinsip dan sikap politik Islamnya, yakni hijrah.
Sikap politik hijrah yang ia pahami harus diwujudkan melalui perjuangan dan
gerakan politik. Dalam perjuangan politiknya itu, Negara Islam Indonesia harus
tetap berpegang pada dua akidah politik, yakni ideologi atau
cita-cita dan realita. Yang pertama menjadi tujuan dari semua
perjuangan politik, sedangkan yang kedua merupakan sejumlah kekuatan jiwa,
harta kecakapan, kepandaian dan lain-lain dalam rangka mencapai ideology atau
cita-cita politiknya.
Ketika meletusnya pemberontakan DI/TII ini pembeda utamanya
adalah soal keabsahan Republik Indonesia. Gerakan DI/TII muncul justru memperjuangkan
semua aspirasi umat Islam. Sebab, menurut Kartosoewirjo, aspirasi umat Islam
dapat diterjemahkan sebagai berikut
- Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasar Islam.
- Pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum-hukum syara’ agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya.
- Setiap umat Islam harus memperoleh kesempatan dan lapangan usaha untuk melakukan kewajibannya, baik yang menyangkut aspek duniawi maupun ukhrawi.
- Umat Islam harus terlepas dari segala bentuk perhambaan.
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa cita-cita umat Islam
(ideologi Islam), yakni ingin membangun dunia Baru atau Dunia Islam
atau dengan kata lain Dar Al-Islam dalam rangka memperoleh Mardhatillah
dan Rahmatillah. Dalam tertib politiknya, ada dua penyangga dalam
ideologi Negara Islam Indonesia. Pertama, semua kedaulatan berada di
tangan Allah. Kedua, pandangan korporatif tentang masyarakat yang di
dalamnya terdapat kelompok berbeda yang secara adil mempunyai hak dan tanggung
jawab yang tidak sama rata dan tunduk pada kewajiban-kewajiban hukum yang
sangat berbeda.[13]
Pada akhirnya, sejarah bangsa ini mencatat dan menepatkan
DI/TII sebagai gerakan politik Islam sempalan yang merongrong keutuhan Republik
ini, sehingga atas nama keutuhan bangsa dan Negara, DI/TII ditumpas habis oleh
rezim Soekarno dan disapu bersih oleh rezim Soeharto.
5.
Aspirasi
dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde Lama
Dalam periode Orde Lama, tampaknya peran
umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar : pertama,
peran umat Islam yang bersikap kritis
kepada negara yang diwakili oleh Masyumi; kedua,
peran umat Islam yang bersikap akomodatif kepada negara yang
diwakili oleh NU; ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan
pemikiran (di luar pagar sampai memberontak) yang diwakili oleh gerakan
DI/TII. Sehingga dalam posisi ini Douglas Ramage,
memberikan makna yang khas, bahwa Umat
Islam lebih disosokkan sebagai ancaman. Dalam
pandangannya, Islam pernah ditempatkan sebagai kekuatan terlarang
sebagaimana kekuatan komunis.[14]
Umat Islam membentuk Kogalam (Komando Kesiapsiagaan
Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam
mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya,
sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan
pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas,
sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan Negara
komunis. Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat menyadari akan
bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan Negara yang
memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri
Bangsa Indonesia. Dengan adanya Ketetapan MPRS No. XXV/ 1966,
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orderbownya dibubarkan, ajaran Komunisme
-Marxistme dilarang untuk seluruh Indonesia.[15]
DAFTAR
PUSTAKA
Darban, Ahmad Adaby, Peran Serta Islam dalam Perjuangan
di Indonesia. Yogyakarta: UII. 1989.
Ghazali, Adeng Muchtar. Perjalanan Politik Umat Islam
Dalam Lintasan Sejarah. Cet.1. Bandung : Pustaka Setia, 2004.
Lihat dalam Douglas E. Ramage, Democracy, Islam
and The Ideology of Tolerance, London, Routledge, 1995.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Pancasila sebagai Dasar
Negaraa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.
Maarif, Ahmad Syafi’i. Islam
dan Masyarakat Kenegaraan. Jakarta : LP3ES, 1985.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik Indonesia pada
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta : PT Pustaka Parama
Abiwara, 1988.
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution. Pemikiran
Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer). Cet. I.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994.
[1] Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), Hlm.
267-268.
[2] Adang Muchtar
Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, (Bandung
: Pustaka Setia, 2004). Hlm. 123.
[3] Ahmad Syafi’i
Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, (Jakarta : LP3ES, 1985), Hlm.
115.
[4] Ahmad Syafi’i
Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1960), (Yogyakarta : PT Pustaka Parama Abiwara, 1988), Hlm. 38.
[5] Ahmad Syafi’i
Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, Hlm. 38-40.
[6] Ibid, Hlm.
178.
[7] Ibid, Hlm.
183-186.
[8] M. C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994), Hlm. 403-404.
[9] Ahmad Syafi’i
Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, Hlm. 406.
[10] Ahmad Syafi’ie
Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasa Negara, Hal 190.
[11] Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, Hlm. 270-271.
[12] Adeng Muchtar
Ghazali, Perjalanaan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung
: Pustaka Setia, 2004). Hlm. 70.
[13] Ibid, Hlm.
101.
[14] Lihat dalam
Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and The Ideology of
Tolerance, London, Routledge, 1995.
[15] Ahmad Adaby
Darban, Peran Serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia. Yogyakarta :
UII, 1989.